Kisah ini menceritakan sebuah kejadian horor yang dialami oleh ayok dan ripin, kejadian itu mereka alami tatkala hendak berwisata di pantai selatan, sebelum kalian membaca cerita ini,
mohon untuk kalian yang mungkin tak asing dengan kejadian yang ada disini, jangan spill lokasi ya dan biarlah cerita ini menjadi bahan bacaan yang semoga saja dapat menjadi hiburan dan syukur jika kalian bisa mengambil hikmahnya.
-----
“peen ayo mangkat sakiki wae pen, ben sisuk pas matahari terbit awakdewe wis tekan segoro, iki aku ono tendone” (peen ayo berangkat sekarang saja pen, biar besok saat matahari terbit kita udah sampai di pantai, ini aku udah ada tendanya) ucap ayok di telepon malam itu.
Jadi malam ini ayok dan ripin berencana untuk bermain ke pantai selatan, kebetulan juga saat ini mereka sedang dalam libur semesteran yang membuat mereka mempunyai waktu senggang yang lumayan cukup lama.
Sebelumnya tak hanya ripin saja yang ayok ajak untuk berwisata, namun karena yang lain tak bisa karena mempunyai rencananya masing-masing, akhirnya hanya ripin saja yang menemaninya.
“wah mangkat jam semene opo ora kewengen yok, mending mangkat sesok bar subuhan wae sisan” (wah berangkat ujam segini apa ngak kemalaman yok, mendingan berangkat setelah subuh aja sekalian) ucap ripin membalas.
“walah ndak kawanan, ra menangi matahari terbit mengko nek mangkat yahmono, wis to tenangno, bar iki tak ampiri terus awakdewe budal”
(waduh jangan nanti kesiangan, nanti malah ngak bisa bertemu sama matahari pas terbit kalau berangkat jam segitu, udah tenang aja, habis ini kamu aku jemput terus kita berangkat) balas ayok sedikit memaksa.
“walah yowes-yowes tak siapno abrakan e sik, meh ngango motorku opo motormu?” (yaudah kalau begitu aku tak nyiapin barang-barang dulu, oh iya mau makai motormu apa motorku?) balas ripin
“nahh ngono loh peen, aman wis ngango motorku wae, kimau wis bar tak full tank bensine, aman wis aman..” (nah gitu loh peen, udah tenang aja, pakai motorku, tadi udah aku full tank bensinya, aman udah..)
Sekitar jam 11 malam ayok beranjak dari rumahnya dengan membawa beberapa barang yang sudah ia siapkan sebelumnya dan ia pun berangkat menuju rumah ripin yang hanya berjarak beberapa blok dari rumahnya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ayok sampai di rumah ripin.
“peen ndang metuo, iki aku wis nang omahmu, ndang metuo” (peen buruan keluar, ini aku udah ada didepan rumahmu) tulis ayok di aplikasi pesan singkat.
Tak beberapa lama ripin pun keluar sembari membawa tas ransel besar yang ia bawa di punggungnya, “ayok yok, ini aku udah siap” kata ripin. Namun saat itu tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah ripin.
“yahmene do meh nandi to le, mbok sesok wae” ternyata suara itu adalah suara dari kakeknya ripin, namanya mbah rilo, kala itu beliau keluar tak lama setelah ripin keluar dari rumahnya.
“niki bade ten segoro mbah” (ini mau ke pantai mbah) ucap ayok seketika mendengar mbah rilo.
“karang ben menangi matahari terbit e mbah” (biar bisa lihat matahari terbit e mbah) balas ripin mendengar kalimat yan tadi sempat diucapkan oleh kakeknya itu.
“yowes sing ngati-ati wae yo le” (yasudah hati-hati aja ya le) ucap mbah rilo sambil kembali kedalam dan menutup pintu.
Akhirnya ripin dan ayok berangkat dari malam itu, mereka mulai bertolak dari rumah ripin sekitar setengah 12 an, dengan bermodalkan keberanian akhirnya mereka berdua berangkat menuju pantai selatan yang jaraknya sekitar 2 jam.
Malam itu disepanjang perjalanan ayok dan ripin membahas seputar dunia perkuliahan, namun disaat sudah memasuki perbatasan kota, tiba-tiba ban motor ayok mogok dan memaksa mereka harus menepi.
“wah pie to motormu kui yok, jarene nembe bar mbok isi bensin, moso tekan kene andang macet” (wah gimana si motormu ini yok, katane baru aja kamu isi bensin, masa baru sampe sini aja udah macet)
Tanpa membalas ucapan ripin, ayok hanya berhenti dan membuka tutup tangki motornya, “wehh lha ini bensinya masih banyak e peen” ayok sontak berteriak ketika melihat kondisi bensin motornya yang masih banyak.
“wehh moso si, cobo di starter lagi” balas ripin sambil menoleh kebelakang sambil berharap semoga ada orang yang membantu mereka, namun itu hanya sebatas harapan karena malam semakin larut dan siapa yang melintasi jalan ditengah malam gini selain truk dan bus lintas provinsi.
Setelah mencoba beberapa lama, akhirnya motor yang mereka kendarai menyala kembali dan akhirnya mereka meneruskan perjalanan.
Sekitar satu jam perjalanan mereka telah sampai di jalan yang hanya tinggal lurus beberapa kilometer lagi, mereka sudah sampai ke pantai yang ingin mereka tuju.
Namun entah mengapa tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya dan mengharuskan mereka berteduh secepatnya jika tak ingin mereka basah dan kedinginan ditengah malam.
“kae nang ngarep kayane ono angkringan yok, mampir rono wae sekalian awakdewe tuku wedang ro cemilan ngo ngisi weteng”
(ituu didepan kayaknya ada angkringan itu yok, mampir disana aja, biar sekalian kita bisa beli minum dan cemilan buat isi perut) balas ripin sambil menundukkan kepala menghindari hujan yang mulai membasahi tubuhnya.
“kulonuwun pak.. susu jahene kalih ngih pak, diunjuk mriki” (permisi pak, susu jahe 2 ya pak, diminum disini) ucaku sambil masuk ke angkringan.
“ngih mas, monggo pinarak mriki mas, niko rencang e ndang ken mlebet mriki, ndak udane soyo deres” (ya mas, silahkan duduk dulu, itu temannya disuruh masuk dulu, takutnya nanti hujane makin deres) balas pemilik angkringan.
“peen ndang mlebuo rene i loh, ngopo awakmu nang kono wae” (peen cepetan masuk kesini loh, ngapain kamu disana mulu) ucapku pada ripin dengan suara sedikit teriak karena suara hujan yang membuat bising.
Kala itu jaam tanganku menunjukkan sekitar jam 2 pagi, sebenarnya kami ayok dan ripin mengira bahwa mereka akan sampai di pantai sekitar jam setengah 3 an, namun karena hujan akhirnya mereka akan sampai disana tak sesuai dengan harapan.
Malam itu suasana sangat sepi, entah mengapa tak ada kendaraan satupun yang melintasi jalan. Ditambah lagi hanya ayok dan ripin yang menjadi pelanggan angkringan kala itu, aneh sekali.
“tumben niki angkringan e sepi pak, benjang libur padahal ngih?” tanya ayok sambil duduk dan melipat jaketnya.”
“enggih niki mas, karang udan kayane, biasane ki yo yahmene iki bocah-bocah isih akeh sing do jagongan nang kene” balas pemilik angkringan itu
“monggo mas niki susu jahene” imbuh pemilik angkringan sembari menyuguhkan dua gelas susu jahe hangat untuk ayok dan ripin.
“ohh ngih pak maturnuwun” ucap ayok sambil mengambil dua batang sate usus yang ada didepannya.
Hujan kala itu semakin lama semakin deras yang sepertinya menandakan jikalau bahwa hujan nampaknya akan sedikit awet.
Sembari menunggu hujan reda, ayok dan ripin berbincanag sesekali sambil bercanda. Namun disaat mereka sedang asik berbalas canda , tiba-tiba bapak pemilik angkringan ikut nimbrung dalam obrolan mereka.
“malam-malam gini mau kemana mas, kok bawaannya tas besar-besar” ucap bapak pemilik angkringan pada ayok dan ripin, wajar saja bapak itu menanyakan demikian, mungki saja karena beliau melihat dua tas carier yang ayok dan ripin bawa.
“ohh iya pak ini rencana mau ngecamp di pantai, pengennya sih sampai sana sebelum subh, terus nanti mau bangun tenda sekalian” balas ayok sambil menyeruput susu jahe untuk menghangatkan tubuhnya ditengah kondisi hujan lebat malam itu.
“ohh, tapi emange mas bukan warga kota sini yo mas? Kok bawaan e sebanyak itu?” balasnya lagi
“iya pak saya sama temenku itu dari kota sebelah, yah 2 jam an lah dari sini kalau pas ngak macet hehe” balas ayok lagi.
“owalah iyo mas, motore sampean plat e udu plat kene jebule” (owalah iya mas, motormu platnya bukan plat sini ternyata) ucap pemilik angkringan sambil menoleh kearah motor ayok.
“hehe neggih pak, njenengan dodolan niki biasane tekan jam piro pak? Kok yahmene durung muleh kukutan?” ( hehe iya pak, bapak jualan itu biasanya sampai jam berapa pak? kok jam segini masih belum pulang?) tanya ripin
“ra mesti e mas, kadang jam 1 wis muleh, kadang yo muleh subuh, wis pokoke ra mesti mas opomeneh pas kahanan ngeneki sik kejebak udan ngene, bapak biasane ngenteni udan e mandek sik lagi muleh” balasnya
“sampean sok menangi hal-hal aneh ra pak sak suwine sampean dodolan ngeneki? Opo meneh nek jam semeneki, dalan mesti wis sepi” (njenengan sering menemui hal-hal aneh ngak pak pas selama ini jualan? apalagi jam segini jalanan udah sepi) tanya ripin
Disaat ripin menanyakan hal itu, entah mengapa suasana menjadi sangat hening dan senyap. Seolah hanya suara rintik hujan saja yang terdengar dan tak ada suara lainnya.
“cangkemu cen bosok kok peen, mbok ojo ngawur, yahmene takon babagan demit.. nek teko tenan pie? Koe gelem po diweruhi?” sontak ayok menepuk pundak ripin saat itu juga
“lah kan aku ming takon to ya, ora dijawab yo rapopo” balasnya sambil cengingisan.
Sebelum bapak angkringan itu menjawab pertanyaan ripin, sesekali bapak pemilik angkringan itu menoleh kekanan dan kekiri, melihat kejadian itu ripin menjadi curiga dan menanyakannya.
“wonten nopo e pak kok kadose njenengan koyo lagi was-was?” (ada apa e pak kok kayaknya bapak seperti lagi was-was gitu?)
“dadi ngene mas, wingi durung suwe, nang ngarep angkringan iki lewat andong ning posisine yahmeneki” (jadi gini mas, kemarin belum lama, didepan angkringan ini lewat kereta kencana pas waktunya jam segini)
“paling arepe mangkat pasar wae kui pak andong e, ning mergo wedi macet njur mangkate gasik hahaha” (palingan mau berangkat ke pasar aja itu pak kereta kencanane, mingkin karena takut macet makanya berangkat awal) balas ripin sambil tertawa
“asuuu tenan nek cocotmu kok pen, mbok nek guyon ki ra waton”
“ngapunten ngih pak, kancaku cen mondo kurang ajar ngeneki nek guyon” (maaf ya pak, temenku memang kurang ajar gini kalau bercanda) ucap ayok meminta maaf kepada bapak pemilik angkringan.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba udara malam itu menjadi dingin dan seolah menggigit kulit. Hujan deras yang sedari tadi menjadi gerimis dalam seketika, membuat semua yang ada di angkringan itu menjadi keheranan.
Suara gemerincing lonceng sayup-sayup mulai terdengar, pelan.. pelan.. dan semakin lama semakin jelas dan tegas.
Awalnya ayok saat itu mengira bahwa itu adalah suara dari orang yang lagi jualan sate keliling, namun tiba-tiba ucapan dari sang pemilik angkringan itu membuat ayok dan ripin seketika ketakutan.
“ssst mas, mengko nek suoro kui lewat kene, ojo pisan-pisan ngeruh-ruh i yo, nengke wae ben liwat sak karepe dewe”
(sssst mas, nanti kalau suara itu lewat sini, jangan sesekali menghiraukannya, biarkan lewat saja) ucap lirih bapak pemilik angkringan sambil menutup tirai bambu yang sedari tadi ia biarkan terbuka lebar.
“wonten nopo e pak, kok teko-teko aku mrinding ngene?” (ada apa e pak, kok tiba-tiba aku jadi merinding gini?”) ucap ayok sembari menyalakan rokok yang sedari tadi ia biarkan mati.
“wehh teko-teko kok mak prinding yoan aku yok, wehh ono opo iki yo enggane” (wihh kenapa ya kok tiba-tiba badanku merinding gini yok, weh kira-kira ada apa ya) sahut ripin seketika.
Saat itu tiba-tiba pemilik angkringan itu menjadi salah tingkah, namun dari gerak-geriknya itu menjadikan ayok semakin penasaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
“wonten nopo e pak sebenere niki?” (ada apa e pak ini sebenarnya?) tanya ayok
“yo iki mas sing mau tak ceritake, wis pokoke sampean mengko nek ono suoro andong teko meneng wae rasah diruhi kenopo” (ya ini mas yang tadi saya ceritakan, udah pokoknya masnya nanti kalau ada suara kereta kencana udah diam aja, ngak usah ditanggapi) balas pemilik angkringan
Belum lama dari ucapan itu berhenti, tiba-tiba suara delman itu semakin keras, ayok dan ripin dengan panik langsung beranjak dari tempatnya duduk, dan menghampiri pemilik angkringan.
“pak.. pak.. aku tak melu nangkono, wedi aku pak” sambil glagapan ayok beranjak dan merunduk dibelakang gerobak angkringan.
“hoo pak, kayane iki gara-gara lehku omong ngawur mau yo pak?” (iya pak, ini kayaknya gara-gara aku tadi bercandanya ngawur ya pak?) bisik lirih ripin
Suasana malam itu semakin memanas tatkala suara delman itu berhenti tepat didepan angkringan. Sehingga belum sempat menjawab ucapan ayok dan ripin, tiba-tiba lampu angkringan menjadi redup dan mati, sesaat ketika suara delman itu berhenti.
“pak pripun niki pak?” (pak gimana ini pak) bisik ayok
“ngihh pak pripun niki, kulo dereng pengen mati!” (iyaa pak, ini saya belum pengen mati) sahut ripin sambil berbisik pula.
Bukannya menjawab, pemilik angkringan itu hanya diam dan seolah sedang melantunkan doa, dan benar saja, tak lama setelahnya, delman yang tadinya berhenti didepan angkringan pun mulai berjalan.
“alhamdulillah, akhire lungo” (alhamdulillah, akhirnya pergi)
“iyoo pen, alhamdulillah”
Namun bukanya bersyukur, bapak pemilik angkringan itu malah mengacungkan jarinya kearah tiang listrik yang lampunya tengah menyala.
“deloko kae mas yen penasaran karo opo sing sampean krungu mau” ucap pemilik angkringan sambil menunjuk kearah tiang listrik yang tak jauh dari angkringan.
Seketika saat itu juga ayok dan ripin menoleh kearah dimana yang ditunjukkan oleh bapak pemilik angkringan, sontak mereka ambruk dan tak bisa berkata apa-apa.
Jadi saat itu mereka melihat sebuah kereta kencana, namun tak hanya satu kuda yang menarik kereta itu, melainkan ada 6 ekor kuda yang menarik kereta kencana itu.
Ayok dan ripin sontak menjadi semakin tak percaya lagi tatkala mereka melihat sosok yang menunggangi kereta itu bukanlah sosok berwujud manusia,
namun yang mereka lihat saat itu adalah sesosok pocong dengan kain kafan bagian kepala sedikit terbuka, dengan demikian sebagian dari kepala pocong itu terlihat.
Kejadian itu tak berlangsung lama, namun bagi ayok dan ripin tidak demikian, bagi mereka berdua kejadian itu terjadi begitu lama dan entah mengapa pandangan mereka seolah dipaksa untuk menyaksikan kejadian yang penuh dengan kengerian itu.
Ketika kereta kuda itu mulai beranjak pergi, entah mengapa lampu yang ada di tiang listrik tadi menjadi mati dan lampu angkringan malah menyala kembali.
Suara gemericing lonceng dan suara sepatu kuda itu sayup-sayup menghilang diirngi dengan aroma bunga yang hanya sekilas lewat.
“pak njenengan wis tau ketemu karo kui mau po pak? Kok ketoke sampean tenang-tenang wae mau?” tanya ayok
“hooh i pak, ketoke sampean malah ming ngadek ngejejer, ora melu ndodok” sahut ripin dengan sedikit emosi
“iyo mas, iku sing mau lagi pengen tak ceritakke, malah sampean weruh dewe to sak durunge tak omongke? Bejone sampean mas iku hahaha” balasnya sambil tertawa seolah barusan tak terjadi apa-apa.
Akhirnya saat itu bapak pemilik angkringan menceritakan bahwa ini bukan kali pertama ia bertemu dengan sosok kereta kencana itu, konon sosok itu sering menampakkan wujudnya dikala hujan turun seperti ini dan memang ketika ayok dan ripin.
Mungkin kejadian malam itu adalah salah satu kejadian yang takkan mungkin ayok dan ripin lupakan, setelah membayar susu jahe yang tadi mereka pesan, ayok dan ripin pun melanjutkan perjalanan.
mungkin itu saja yang wakhid bisa sampaikan, semoga kaian bisa mengambil hikmah dari kejadian barusan ya.
---SELESAI---