(untuk nama desa maupun tokoh sudah diubah demi menjaga keamanan privasi)
2007, di tanah Kalimantan. 5 orang laki2 yang kisaran usianya antara 25-30 tahunan itu sesekali mengobrol di tengah kebisingan pasar.
Mereka adalah Khairul, Nurdin, Anam, Amir, dan Slamet.
Mereka berlima saat itu tengah menunggu kedatangan orang yang akan menjemput mereka untuk bekerja.
"Umalah lawasnya. Rasa kipa sudah batis manunggui. (Lama sekali, kakiku sudah mati rasa karena menunggu.)" ujar Anam
"Sabarai, ngaran nya gin saurang handak bagawi. (Sabar saja. Namanya juga kita mau kerja. " Nurdin menimpali
Tiba2 salah satu tas mereka terkena cipratan air hujan yang tergenang, di karenakan sepeda onthel milik seorang kakek tua yang lewat di situ.
"Umalah kai, tas baju ulun basah pian ulah. (Waduh kek, tas berisi baju milik saya basah, gara2 kakek. ) " tegur Khairul
"Handak kamanaan buhan nyawa ngini? (Mau kemana kalian ini?) "
"Handak tulak bagawi kai ae. Mancari duit gasan manjujur si aluh parangutan. (Mau berangkat kerja kek, mau mencari duit untuk melamar si aluh parangutan.) " jawab Amir
"bah lah si utuh hirang ngini, nangkaya pasti haja si aluh parangutan nintu mau lawan nyawa. (Ciihh.. Dasar utuh hirang ini. Memangnya yakin pasti kalau si aluh parangutan itu mau menikah denganmu. )" ujar si kakek tertawa, membuat keempat teman2 Amir juga ikut tertawa
Utuh hirang itu merupakan julukan Amir di desanya. Karena warna kulitnya yang gelap.
Sementara yang lain tertawa, Amir hanya terdiam dengan raut wajah kesal.
"Ayuha lah, kai handak manukar gula dahulu nah, mundahan basalamatan haja babuhan nyawa sampai katujuan. Wan baingat2 bila di wadah urang.
(Ya sudah, kakek mau beli gula dulu. Semoga kalian semua selamat sampai tujuan. Dan jaga sikap bila di tempat orang.) " ujar kakek Isat sebelum menyandarkan sepeda onthel nya di salah satu pohon yang ada di sana.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil kijang singgah, dan setelah kacanya diturunkan, terlihat lah seorang laki2 yang mereka kenal melambaikan tangan pada mereka.
"Nah tu sidin datang sudah. (Nah itu beliau sudah datang.) " ujar kelima sekawan itu bersamaan menunjuk ke arah mobil kijang tersebut
Mereka mengangkat barang bawaan nya menuju ke mobil yang sudah menunggu.
"Ajin lawas sudah buhanmu manunggu?? (Jangan2 sudah lama kalian menunggu??) "
"Kada takisah pak ae, sampai kipa batis badiri manunggui pian. (Tidak usah di ceritakan pak, sampai mati rasa kaki kami menunggu bapak.) " ujar Anam
Mendengar perkataan Anam itu, Khairul lantas menyenggolnya. Memberi isyarat agar tidak mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang tersinggung.
"Maaf pak. " ujar Slamet
____
Tidak disangka perjalanan mereka menuju tempat kerja itu rupanya sangat amat jauh, memang di awal mereka sudah di beritahu oleh pak Ogot (lelaki yang menawarkan pekerjaan tersebut pada mereka) kalau tempatnya jauh, tapi mereka tidak mengira kalau akan sejauh ini.
"Mendinglah amun upahnya ganal, nah ngini kita haja kada tahu handak di andak urang di bagian mana, gawian nya kaya apa.
(Mending kalau gajinya besar. Lah ini, kita saja tidak tau akan di pekerjakan dimana dan jenis pekerjaan nya seperti apa.) " ujar Anam saat mereka di ajak singgah untuk makan
"Lah jadi? Buhan ikam kada tahu kah lagi apa gawian kita nih cagarnya? (Jadi? Kalian belum tau apa pekerjaan kita ini nantinya?) " tanya Slamet
"Apa haja gawian nya kada masalah sanak ae. Yang penting halal wan kada mangganggu urang. Amun aku ni kada masalah haja handak di andak urang di mana kah. Asal ada upahnya.
(Apa saja pekerjaan nya tidak jadi masalah, yang penting halal dan tidak mengganggu orang. Kalau aku, mau di pekerjakan orang di mana saja tidak masalah, selagi ada gajinya.) " ujar Khairul
"Hi'ih ikam bapander kaya itu rul ae nyaman ae. Soalnya ikam bailmu, nah amun kaya kami ni diandak urang dipadang wisa, tinggal tunggu matinya ae lagi.
(Kau enak bicara seperti itu rul, soalnya kau berilmu, lah kalau kami2 ini di pekerjakan di tempat yang berbahaya, tinggal tunggu matinya saja.) "
Khairul cuma tersenyum menanggapi perkataan Nurdin, ia melangkah menuju ke tempat pak Ogot yang sudah sedari tadi memanggil2 mereka.
Makanan yang lewat di tenggorokan mereka terasa seperti ampas, setelah mendengar perkataan pak Ogot, yang baru menceritakan kemana mereka berlima akan di kirim.
Yang Mereka sesalkan adalah, kenapa baru sekarang pak Ogot memberitahu semuanya.
5 hari lebih perjalanan, mereka akhirnya sampai ditempat yang di tuju.
Sebuah desa di tepi hutan belantara kalimantan, hutan yang masih menyimpan banyak misteri dan rahasia.
Dan disitulah mereka berlima akan mengabdikan diri selama 1 tahun penuh.
Nurdin menatap Khairul yang sejak tadi terdiam,
"Ikam kanapa rul? (Kau kenapa rul?) "
"Kada tahu jua. Tapi pas manjajakan batis di desa ngini, rasanya kaya aku tu masuk ke dunia lain. Hawa desa ngini aneh. Bau ganyir tacium tarus.
(Entahlah, tapi sejak menginjakkan kaki di desa ini, aku merasa seperti berada di dunia yang lain. Bau danur terus tercium.) " Nurdin merapatkan tubuhnya pada Khairul, nyalinya seketika menciut. Rasa takut mulai mendera.
"Kita bulikan haja gin yu. Takutan aku nah kalu kanapa2, kasian parangku ni, maka balum bakumpang.
(Kita pulang saja yuk, aku takut kenapa2 disini. Kasian pedangku, mana belum punya sarung.) " ucap Nurdin menunjuk kearah adik kecilnya
"Niat kita kasini baapa? Bagawi kalo? InsyaAllah amun niat kita bagus wan kita kada macam2 di wadah urang, urang gin segan wan kita. (Niat kita kemari mau apa? Kerja kan? InsyaAllah kalau niat kita baik dan kita tidak macam2 di tempat orang, orang pun
akan segan terhadap kita.) " ucap Khairul sebelum berjalan menyusul ketiga teman nya dan pak Ogot yang sudah naik ke salah satu rumah di sana.
Mata Khairul melebar tatkala seorang perempuan keluar dari arah dapur dengan membawa nampan kayu besar berisi beberapa gelas kopi.
Bahasa indonesianya terdengar kaku ketika ia mempersilahkan mereka untuk meminum kopi tersebut. Aroma kopi tumbuk yang sangat wangi dan khas, terasa sangat menggoda para tamu tersebut.
Kecuali Khairul.
Khairul diam dan menatap lekat pada gelas kopi yang masih mengepulkan asap itu.
"Minum rul. Nyaman banar kopinya. (Minum rul, kopinya enak.) " ujar Amir
Khairul hanya mengangguk, namun ia masih tak menyentuh kopi tersebut.
"Kalian sudah tau kan apa pekerjaan kalian disini? " tanya lelaki yang berusia 50 tahunan itu seraya menatap satu persatu kelimanya
"Ya pak. " jawab mereka singkat secara bersamaan
"Baiklah, kalau begitu, besok saya akan mengantar kalian ke rumahnya. "
____
Malam itu, mereka tidur dalam satu ruangan tanpa kasur ataupun bantal. Setelah keempat teman nya tidur, Khairul beranjak duduk. Ia termenung seperti memikirkan sesuatu.
Gubbraaaakkkk…
Suara benda keras di pukulkan pada dinding ruangan itu cukup membuat Khairul kaget.
Bahkan teman2nya pun sampai terbangun.
"Ehmmm.. " pak Pontik berdehem nyaring seakan memberitahukan keberadaan nya pada si pembuat suara
Anehnya suara itu langsung hilang dan suasana malam itupun kembali senyap.
____
Keesokan paginya, setelah sarapan mereka di antar ke rumah orang yang akan mempekerjakan mereka. Dan rumahnya itu berada cukup jauh dari desa tersebut.
Kira2 5 km lebih masuk kedalam hutan.
"Akayah ae. Mingkal bahu mambawa tas ngini. (Aduh, pegal sekali bahuku membawa tas ini. ) " ujar Amir
"Imbah tu handak napa ikam? Handak aku yang mambawa akan? (Terus kau mau apa? Apa mau aku yang bawakan?) "
Amir tersenyum2 mendengar perkataan Nurdin,
"Amun ikam hakun. (Kalau kau tak keberatan) "
"Dasar kada tahu supan! (Dasar tak tau malu) "
Obrolan mereka berakhir kala langkah mereka terhenti di sebuah pagar kayu ulin yang menjadi pembatas. Pagar itu tinggi, seolah ada yang disembunyikan di baliknya.
Dari celah pagar mereka melihat sebuah rumah yang juga terbuat dari kayu ulin,Rumah itu sangat bagus dan nampak mewah.
"Pasti ngini rumah urang sugih. (Pasti ini rumah orang kaya) "
Setelah sekian lama berdiri di luar pagar, akhirnya mereka dipersilahkan masuk oleh seorang laki2 yang jauh lebih tua bila dibandingkan dengan pak Pontik.
Meski lelaki itu tak berbicara sepatah katapun pada mereka, namun dari gerakan tubuh serta tatapannya mereka dapat menyimpulkan bahwa lelaki tua itu menyuruh mereka untuk masuk.
Mandau yang terpasang di pinggang pak Pontik di tanggalkan di luar rumah sebelum mereka memasuki pintu.
Di dalam sana, sudah duduk seorang wanita paruh baya, wanita itu terlihat sangat anggun dan cantik walaupun usianya sudah tak lagi muda.
"Pasti sidin ni bidadarinya di desa pada jaman nya dahulu. (Pasti beliau ini adalah orang paling cantik di desa pada jaman nya dulu.) " bisik Amir pada Nurdin
Pak Pontik dan si wanita paruh baya itu berbicara dalam bahasa dayak, bahasanya sangat berbeda dengan bahasa dayak yang sering mereka dengar. Dan sudah tentu mereka berlima tidak tau arti dari percakapan kedua orang tua tersebut.
"Kalian sudah tau pekerjaan kalian disini? " tanya wanita paruh baya itu
"Iya bu. "
"Beliau ini adalah majikan kalian, panggil saja beliau dengan sebutan Nyai Ambon Bungeh. " ujar pak Pontik menatap satu persatu kelimanya
"Maaf Nyai. " ucap Khairul
Nyai Ambon tersenyum sembari mengangguk, nampaknya ia menyukai Khairul.
"Baiklah kalau begitu, mulai besok kalian sudah boleh bekerja, dan kalian akan di gaji 2 juta perbulan, bersih. Karena makan dan minum serta kebutuhan kalian sudah saya tanggung. " ujar Nyai Ambon membuat mereka terbelalak
"Yang benar Nyai?? " tanya Slamet
"Apakah itu kurang? Kalau kurang, kalian boleh menawarkan harga untuk pekerjaan kalian. Aku tidak akan menolak. Karena Aku sangat menghargai para pekerja seperti kalian ini. "
Slamet, Nurdin, Amir dan Anam menelan ludah setelah mendengar perkataan Nyai Ambon.
"Maaf, Nyai. Maksud teman2 saya bukan seperti itu. Malah 2 juta itu adalah jumlah yang sangat besar. Karena rata2 gaji yang di tawarkan di tempat lain masih sangat murah.
Makanya kami sedikit kaget dan tidak menyangka bila Nyai memberikan kami gaji sebesar itu. " ujar Khairul
Nyai Ambon lagi2 tersenyum,
"Antarkan mereka ke kamarnya. " ujar Nyai Ambon pada laki2 tua yang tadi membukakan pagar
Pak Pontik tersenyum menatap mereka berlima sebelum pulang.
"Kenalkan pak, nama saya Nurdin, ini Slamet, Ini Amir, ini Anam dan ini Khairul. Kalau nama bapak siapa? Biar enak kita memanggilnya. "
Lelaki tua itu menatap mereka berlima satu persatu dengan tatapan yang sulit di artikan.
Lalu ia membuka mulutnya dan seketika membuat kelimanya kaget.
_____
Suasana sunyi malam itu mereka rasakan, suasana yang membuat mereka ingin cepat2 untuk tidur.
Berbeda dengan khairul, ia masih terjaga ketika suara nyanyian khas orang dayak yang biasa terdengar saat ada acara adat itu mulai sayup2 masuk ke telinganya.
Khairul bangkit, dan cukup lama ia duduk mendengarkan nyanyian itu, yang kian lama, kian enak di dengar.
Perlahan2 Khairul melangkah keluar kamar, ia berjalan ke dapur sambil memegang botol air yang telah kosong. Tenggorokannya terasa sangat haus sekali pada saat itu.
Namun entah kenapa, begitu ia ingin meminum air dalam wadah tersebut, alis matanya mengkerut. Lalu cepat2 ia letakkan wadah tersebut ke atas meja.
Tangan Khairul membuka wadah air itu dan matanya terbelalak ketika ia melihat seekor halimanjau hidup yang menggeliat2 di dalamnya.
(Halimanjau adalah lintah hijau yang ukuran tubuhnya jauh lebih besar bila dibandingkan lintah yang lain).
Saat Khairul akan mengeluarkan Halimanjau itu dari dalam wadah air tersebut, tiba2 wadah air itu itu langsung ditarik oleh si lelaki tua.
Khairul hanya bisa terdiam menatapnya, tanpa berani mengatakan apa2.
____
Keesokan harinya, mereka bangun dengan keadaan yang jauh lebih segar, terkecuali Khairul. Entah kenapa semenjak kedatangan mereka di tempat itu ditambah lagi dengan kejadian semalam yang ia alami, Khairul cenderung lebih serius dan sulit untuk diajak ngobrol oleh teman2nya.
Padahal Khairul sendiri dikenal sebagai orang yang suka bercanda dan mudah diajak ngobrol.
Hari itu sebelum memulai pekerjaan, mereka terlebih dulu di ajak sarapan bersama dengan Nyai Ambon Bungeh.
Wanita tua yang anggun itu sama sekali tak membedakan status mereka, ke lima sekawan itu diperlakukan layaknya keluarga oleh Nyai Ambon.
Keempat teman Khairul, terlihat sangat lahap menikmati makan paginya.
Berbeda dengan Khairul yang sama sekali tak menyentuh makanan nya, ia malah asik melihat pada sebuah mangkuk berisi irisan2 kecil daging yang sepintas mirip seperti usus ayam, tipis.
"Makan rul. Nyaman banar masakan nya nah. Rugi ikam amun kada marasai. (Makan rul. Masakannya enak sekali. Rugi kamu kalau tidak mencobanya.) " ujar Anam sembari mengambil beberapa sendok masakan yang berisi irisan2 mirip usus ayam tersebut
"Maafkan saya Nyai, tapi pagi ini perut saya rasanya tidak enak sekali. " ucap Khairul sebelum beranjak untuk pergi meninggalkan ruang makan yang sangat luas itu
"Kamu, kamu tidak boleh pergi meninggalkan ruangan makan sebelum kami semua selesai makan. Itu adalah salah satu peraturan di rumah ini. " ujar Nyai Ambon, seketika membuat Khairul menghentikan niatnya
Setelah semuanya selesai makan, mereka pun bergegas untuk memulai pekerjaan dengan penuh semangat.
Tak terasa, 4 hari sudah mereka berada di sana. Dan teman2 Khairul benar2 merasa sangat betah berada di tempat tersebut. Sangat berbeda sekali dengan yang Khairul rasakan.
"Buhan ikam pina lain. (Kalian berbeda). " ujar Khairul di satu kesempatan
"Pina lain napanya? (Berbeda apanya?) " tanya Nurdin dan Slamet bersamaan
"Umbah buhan ikam kada marasa anehlah? Rumah ngini, makanan yang kita makan sama tarus saban hari, gaji ganal padahal gawian kita kada tapi uyuh. Balum lagi peraturan2 aneh yang harus kita turuti.
Tapi buhan ikam basikap tu saolah2 kadada napa2 nya.
Padahal neh, panakutan banar samalam pas tatambayan datang kasini. (Terus kalian tidak merasa aneh? Rumah ini, makanan yang kita makan selalu sama setiap hari, gaji besar padahal pekerjaan kita tidaklah berat.
Belum lagi peraturan2 aneh yang harus kita turuti.
Tapi kalian bersikap seolah2 tidak ada apa2, padahal si ini, penakut sekali waktu awal2 datang kesini.) " ujar Khairul menunjuk kearah Nurdin
Mereka berempat saling berpandangan, seolah tak mengerti dengan apa yang khairul katakan.
"Parasa ikam haja tu rul ae. (Mungkin itu hanya perasaanmu saja rul.) "
Khairul melanjutkan pekerjaannya membersihkan kurungan ayam itu tanpa mengatakan apa2 lagi.
Tiba2 saja pak tua datang dari belakang, beliau berbicara dalam bahasa isyarat mengatakan bahwa kelima laki2 itu disuruh masuk oleh Nyai Ambon.
Saat mereka masuk kedalam rumah mengikuti pak tua, Khairul lagi2 menunjukkan sikap aneh.
Beberapa kali ia menyapu hidungnya, seolah2 untuk mengusir bau busuk yang sangat mengganggu.
"Kanapa pulang rul? (Kenapa lagi rul?) " tanya Anam
"Buhan ikam kada mancium bau ganyirkah? (Kalian tidak mencium bau amis bercampur danur kah) " ujar Khairul balik bertanya
Teman2 nya menggeleng, Nyai Ambon terlihat sudah menunggu kelima laki2 tersebut, ia berdiri di dekat jendela yang menghadap langsung ke luar. Sekilas tak ada pemandangan yang bisa dinikmati dari jendela itu, karena terhalang oleh pagar yang menjulang tinggi, selain itu diluar sana pun hanya terdapat barisan pohon2 liar yang tumbuh tak beraturan.
"Hari ini saya akan memperkenalkan kalian dengan suami saya, tapi sekarang ini dia sedang sakit. Sehingga membuatnya tidak bisa bangun dari tempat tidur. " ujar Nyai Ambon
"Astaga, aku mangira sidin tu balu sugih. (Astaga, aku kira beliau itu janda kaya.) " bisik Amir
"Umbah kanapa mun ada lakinya? (Terus kenapa memangnya kalau dia bersuami?) "
"Ssssttttt.. " tegur Khairul
Nyai Ambon berjalan mendahului kelimanya menuju ke sebuah kamar yang terletak paling sudut di rumah besar tersebut.
Ketika pintu kamar dibuka, bau amis dan busuk menyeruak keluar.
Membuat mereka berlima seketika menutup hidung.
Seluruh dinding bahkan plafonnya dilapisi dengan kain hitam, di atas meja berjejer berbagai macam bunga2an dan 4 buah perapin yang masih hidup di setiap sudut kamar.
Serbuk kopi berceceran di lantai kamar itu, tapi tetap tak bisa menghilangkan bau amis dan busuk yang menyengat.
Mata Khairul tertuju pada sebuah tempat tidur berkelambu hitam yang terletak di tengah2 ruangan.
Sebelum kelambu hitam yang menutupi tempat tidur itu dibuka, terlebih dulu Nyai Ambon mengikatkan benang hitam untuk mengelilinginya.
Satu persatu mereka dipanggil untuk melihat orang yang terbaring di sana.
Dimulai dari Anam, dan yang terakhir adalah Khairul.
Alis mata Khairul mengkerut, ketika melihat seonggok tubuh yang seperti mayat hidup itu terbaring di dalam tempat tidur aneh,
terbuat dari kayu bulat berukuran besar utuh yang di lubangi hingga berbentuk cekung dan disitulah suami dari Nyai Ambon terbaring.
Setelah memperlihatkan suaminya pada kelima laki2 itu, beliau menutup kembali kelambu hitam tersebut.
"Karena aku akan pergi membeli barang2 ke kota selama beberapa hari, jadi tugas kalian selama aku pergi adalah, menjaga suamiku, memberikan nya makan, membersihkan kotorannya. Dan yang paling penting jangan sampai perapin2 di sudut kamar itu mati. " ujar Nyai Ambon
"Bagaimana cara memberi makan beliau Nyai? Menurut saya, tentu caranya berbeda dari orang sakit kebanyakan." Kata Khairul
Nyai Ambon tersenyum menatap Khairul,
"Kau benar, dan aku memilihmu untuk tugas itu. "
Keempat teman2 Khairul di suruh untuk keluar terlebih dulu, sementara Khairul dan Nyai Ambon masih berada di dalam kamar itu.
Tanpa mengatakan apa2 Nyai Ambon mengambil sebuah perapin dari dalam lemari, menghidupkan nya, lalu setelah itu ia mengambil piring berwarna putih yang cukup besar berisi makanan yang lengkap dengan lauk pauknya, kemudian piring berisi makanan itu di asapi di atas perapin sekitar kurang lebih 2 menit lamanya.
Seketika setelah makanan itu selesai di asapi, makanan itu menjadi basi dan berlendir.
Mata Khairul melotot,
"Maaf Nyai, saya tidak bisa, saya tidak berani. " ujarnya dengan suara bergetar
"Kau tidak bisa membantah nak, suamiku memilihmu untuk melayaninya. Lagipula dia hanya makan sekali sehari."
___
"Apa jar sidin rul? (Apa yang beliau katakan rul?) " tanya Nurdin
"Hi'ih rul, apa yang di padahakan sidin tadi? Kanapa muha ikam langsung barubah pas kaluar. (Iya rul. Apa yang beliau katakan tadi? Kenapa wajahmu langsung berubah saat keluar?) "
Khairul menggeleng pelan, ia tak ingin membuat takut teman2nya jika menceritakan apa yang ia lihat di dalam kamar tadi.
Di saat mereka tengah melanjutkan pekerjaan nya, pak Pontik datang.
Sebelum masuk ke dalam rumah, beliau terlebih dulu mengobrol dengan Kelima sekawan itu.
Bersambung.