Langsung ke konten utama

Ada yg pernah berobat di Sangkal Putung? (Kisah Nyata)

Ada yg pernah berobat di Sangkal Putung?

Ngomongin soal Sangkal Putung, jadi inget cerita pengalaman sepupu saya sewaktu dibawa berobat ke Sangkal Putung di sebuah desa pedalaman, disini saya juga bakal cerita bagaimana rahasia pengobatan serta kejanggalan-kejanggalan ketika sepupu berada di sana. 

Seinget saya, waktu itu hari sudah menjelang Sorop, langit sudah berwarna kemerah-merahan. Sebentar lagi malam akan tiba. Di desa saya ada sebuah tanah lapang, tempat ini biasa dipakai anak-anak desa maen bola, kalau anak perempuan biasanya maen lompat tali. 

Tapi, terkhusus hari itu, entah kenapa semua anak-anak malah bermain di bak sebuah Truk milik tetangga saya yg memang biasanya diparkirkan di tanah lapang tersebut, karena memang cuma tempat itu yg bisa menampung kendaraan yg besarnya cukup memakan tempat. 

Bagi kami anak desa sendiri, apapun bisa dijadikan maenan termasuk Truk yg terparkir tersebut, memang, kalau dipikirkan lagi hal itu tidak lah bijak, tapi saya yg waktu itu tetaplah anak-anak sehingga tidak memikirkan sebab akibat bermain di atas bak Truk tersebut. 

Singkatnya, hari sudah mulai gelap, beberapa anak juga sudah melompat turun dengan cara menggelayut tepat diatas ban, ada pula yg bergelayut di dekat kepala truk, ibu-ibu juga sudah datang menjemput kami dengan ekspresi marah, karena waktu Sorop masih terhitung keramat bagi kami. 

Saya ingat betul, ada seorang ibu, yg berteriak agar kami tidak lagi bermain di truk tersebut karena selain berbahaya, benda itu juga bukan milik perorangan, saya yg sudah turun setelah melompat lewat dari sisi ban bersama dengan yg lain tiba-tiba dikejutkan dengan suara keras. 

Suara keras itu menyerupai suara benda jatuh namun dengan debum yg cukup membuat kami tertuju pada satu tempat. Rupanya, sepupu saya, Nita, terjatuh dari atas bak Truk dengan tangan mendarat terlebih dahulu.

Ibu yg berteriak marah itu, langsung menjerit sebelum berlari mendekat dengan tergopoh-gopoh saya pun ikut mendekat, khawatir terjadi sesuatu dengan Nita.

Seperti yg saya pikirkan, kondisi Nita benar-benar tak dapat dijelaskan dengan nalar, bagian siku kanannya janggal dengan tulang yg menonjol, benar-benar pemandangan yg cukup membuat begidik. 

Nita sendiri nafasnya tersenggal dengan mata melotot menghadap keatas, ibu yg menjerit itu lalu cepat-cepat memberi perintah agar memanggil orang-orang, termasuk orang tua Nita sendiri, saya masih ingat dengan jelas, waktu itu adzhan maghrib mulai berkumandang. 

Saya sendiri benar-benar terpaku, bahkan sempat terbesit mungkin saja Nita tidak selamat waktu itu, hal ini terkadang yg membuat saya akhirnya percaya, bermain-main ketika menjelang Sorop benar-benar bukan hal yg bagus. 

Ibu tersebut merapikan rambut Nita, sambil berusaha menjaga agar Nita tidak kehilangan kesadaran, namun, Nita yg masih tersenggal itu akhirnya benar-benar berhenti bernafas di satu titik yg membuat kami semua, terutama saya bagai disambar petir. 

Ibu itu masih menepuk pipi Nita, suara beliau sudah mau pecah, sebelum, ini yg buat saya sampai saat ini tidak tahu harus berkata apa, karena secara tiba-tiba mata Nita terbuka.

Benar-benar terbuka, sepupu saya ini lalu berdiri, dengan kedua kaki telanjang menempel tanah. 

Dia menunduk, bagian leher kiri-nya nampak tonjolan juga yg saya kira tulang juga mungkin, cuma bedanya, Nita yg ini itu menangis.

Menangis yg bukan seperti bagaimana anak perempuan menangis, suaranya lebih pelan namun dingin.

Disitu si ibu ini nampaknya sadar, ini bukan Nita. 

Si ibu ini lalu mendekat sambil berbicara dengan nada kasar, "kowe bar sing nyorong cah kui too!!" (kamu yg dorong anak ini kan tadi!!)

Nita masih menangis, sesenggukkan, kedua kakinya pengkor, sementara yg paling menganggu tentu tulang siku kanannya yg kulitnya sobek. 

Dari jauh ada orang datang, bapak-bapak dan beberapa anak remaja, disini ada kejanggalan dengan Nita waktu itu, dari yg suaranya mengiba itu lalu cekikikan, sementara si ibu itu masih bertanya sambil mengancam.

"cah kui ra nek duso'ne, mbok diculke" (anak itu gak ada dosa, lepas) 

Tepat setelah si ibu mengatakan itu, Nita semakin keras tertawa cekikikan, sambil mengangguk-angguk, baru akhirnya tubuh Nita jatuh begitu saja di atas tanah tepat di depan kami semua. 

Singkatnya, ramai orang-orang bicara ini, banyak yg datang menjenguk, sementara Nita sendiri baru sadar sekitar jam 9 malam, untungnya tidak ada yg terjadi apa-apa, meski dia masih mengeluh sakit, bagian siku-nya dililit dengan sulur daun kelor, begitu juga lehernya. 

Orang tua Nita mau membawa ke rumah sakit, tapi, mendengar cerita orang-orang sebelumnya nampaknya ini tak hanya membutuhkan bantuan medis, jadi orang tua Nita bertanya ke pak De saya, dan sepakat lah semua keluarga kalau Nita memang kudu dibawa ke Sangkal Putung. 

Malam itu juga mereka berangkat disini saya sendiri tidak ikut, jadi saya akan menceritakan dari sudut cerita sepupu saya malam itu, berobat ke Sangkap Putung di salah satu tempat yg menurut dia adalah salah satu tempat paling jahanam yg pernah dia kunjungi. 

Di dalam deru mobil kijang lama milik saudara yg lain, Nita duduk dibelakang, diapit oleh bapak dan ibunya, sementara di kursi depan Pakde bersama sopir yg juga saudara ini pergi sekitar pukul 10 malam, jalan yg mereka ambil tentu jalan utama yg harus melewati belantara alas. 

Jalan utama alas ini biasa dilewati oleh kendaraan-kendaraan besar, tapi anehnya, malam itu, tak terlihat satu pun kendaraan lain, hanya mobil kijang tersebut yg menderu diselingi kabut yg kadang menutupi pandangan mata. 

Berjam-jam perjalanan dari rumah, akhirnya sampailah mereka di jalan setapak yg berlumpur, Nita melihat dari kaca jendela kalau sebelum masuk gapura yg dibuat dari batu, ia sempat melihat pohon beringin yg besar sekali, dibawahnya ada patung ukir seperti bentuk bayi dibulet kain. 

Nah, disini kejanggalan pertama, rupanya, patung-patung bayi atau anak-anak itu tak hanya ada dibawah pohon beringin yg memang besarnya tak normal tersebut, tapi, ada juga yg diletakkan tepat di depan rumah-rumah penduduk.

Dan rumah penduduknya pun semua terbuat dari kayu. 

Tidak ada satu pun dari rumah itu yg terbuka, semua tertutup rapat-rapat mobil bergerak masuk semakin jauh ke perkampungan tersebut, sampai disisi dalam terlihat aliran sungai dari sela-sela pohon, diujung jalan setapak ada bangunan lama, bekas peninggalan rumah sakit jaman dulu 

Bangunan ini benar-benar terlihat seperti rumah sakit peninggalan, hanya bedanya, di depan halaman terdapat papan kayu bertuliskan "Sangkal Putung"

Disini lah, Nita sudah merasakan perasaan tidak nayman, karena halaman depan bangunan ini saja sudah terasa dipenuhi oleh sesuatu. 

Seorang lelaki tua bungkuk datang dengan lampu petromaks, beliau menerangi bagian sopir lalu bertanya maksud kedatangan mereka, tepat ketika melihat ke tempat duduk Nita, wajahnya tampak mengangguk seakan mengerti apa yg sedang menimpa Nita. Dia mempersilahkan mobil masuk. 

Rupanya, tak hanya Nita seorang yg berobat ke tempat ini, karena di parkiran tepat dibawah pohon-pohon tinggi rindang, sudah banyak mobil dan motor yg sudah tertata rapi, Nita dibantu oleh bapaknya, turun dari mobil, ia digendong menuju ke lelaki yg membawa petromaks. 

Lelaki itu menuntun keluarga Nita menuju ke sebuah ruangan, disini Nita memperhatikan ke sekeliling, ternyata bangunan disini memanjang dengan halaman yg luas, memiliki dua lantai, namun setiap kamarnya nampak gelap gulita, bahkan lampu lorong menggunakan lampu yg berwarna redup, diruangan tersebut ada seorang wanita yg sudah menunggu, beliau lalu menjelaskan prosedur kalau besok pak Mandet akan datang dan memeriksa kondisi Nita, selanjutnya baru lah diambil keputusan dan langkah yg paling baik, di sini si wanita menjelaskan tata aturan di Sangkal Pitung rupanya, keluarga Nita ditawari untuk memilih kamar, anehnya, setiap kamar memiliki harga yg berbeda, yg paling murah waktu itu cukup untuk makan selama sebulan penuh, harga yg lumayan tinggi bagi kelas ekonomi seperti mereka, namun, karena langkah ini hasil diskusi keluarg maka, ibu Nita memilih kamar di lantai dua, alasan selain agar lebih tenang, ia tak mau bila harus berbaur dengan keluarga lain, di kamar bawah rata-rata satu ruangan untuk dua keluarga.

Selain harga kamar, wanita itu juga menjelaskan bila hanya satu anggota keluarga yg boleh menemani. 

Ada kejanggalan lagi di sini, dimana pak de, bapak dan saudara Nita tak boleh menunggu di dalam bangunan ini, mereka harus pulang, kalau tidak akan terjadi sesuatu yg tak mengenakan, pak De nampaknya yg paling tahu sehingga beliau setuju meski pun bapak masih terlihat ragu. 

Mobil dibawa pergi, meninggalkan mobil dan motor lain yg terparkir, Nita digendong oleh ibunya berjalan menuju ke kamarnya yg ada di lantai dua, saat itu lah, dengan jelas, Nita seperti mendengar suara orang yg seperti menggaruk-garuk rambutnya, karena sunyi, suara itu terdengar. 

Bahkan ketika menapak tangga, dari bawah celah, Nita seperti melihat seseorang dengan rambut panjang memperhatikan mereka, tapi, anehnya ibu mau pun si wanita tampak tak menyadari hal itu, Nita pun ragu, sehingga dia memilih diam saja, menyembunyikan kejanggalan ini. 

Di depan kamar yg semua pintu-nya dari kayu, si Wanita mempersilahkan ibu Nita masuk, tepat ketika mau pergi, wanita itu lalu memberitahu atau lebih tepatnya, memperingatkan, lebih baik setelah gelap seperti ini untuk ibu Nita agar tidak keluar dari dalam kamar ini. 

Karena tidak mau melakukan kesalahan, ibu Nita tentu bertanya, kenapa seperti itu, disini si wanita tersenyum lalu membungkuk dan pergi menjauh, wajah kesal ibu Nita terlihat jelas, namun, ia memilih untuk mengalah malam ini, ia membaringkan Nita di atas kasur kecil bergaris. 

Kamarnya tak terlalu besar dengan kamar mandi di dalam, rangka dipan dibuat dari besi yg bila dilihat tampak sudah berkarat, ibu Nita sudah menata selimut pun juga dengan tikar untuknya tidur.

Malam kian larut, tanpa terasa ibu sudah terlelap tidur, mungkin karena kelelahan. 

Pintu kamar mandi dibuat dari kayu yg lebih tipis dibandingkan pintu kamar, Nita masih terjaga karena bagian siku-nya terasa ngilu beberapa kali, mana ketika jarum jam di dinding terus berdetak, suara berkriet dari pintu beberapa kali mengalihkan pandangan Nita. 

Pintu seperti didorong pelan lalu ditutup lagi, didorong lagi lalu ditutup lagi, tidak sampai terbuka lebar, hanya menimbulkan celah sedikit, Nita terfokus di sana terus menerus, suara ber-krieetnya juga cukup menganggu, namun, Nita tak dapat mengalihkan pandangan matanya. 

Di-sana lah, dibalik celah yg gelap gulita, Nita seperti memandang sepasang mata dengan wajah yg tak terlalu jelas, Nita masih melihat sosok itu, sebelum, Nita tersentak melihat ibu-nya menjerit dan terbangun dengan wajah pucat pasi.

Nita yg bingung lantas bertanya, "nopo buk?" 

Ibu Nita awalnya hanya diam, ia beberapa kali melihat kearah lantai, lalu dia meminta Nita agar sedikit bergeser, Nita menurut seperti apa yg dikatakan oleh ibunya, tak lama, ibunya lalu menutup mata Nita sembari berbisik, "sikile ibuk, koyok onok sing mijet nduk" 

(kakinya ibuk, kaya ada yg mijitin nak)

Mendengar hal itu, tentu Nita ingin mengatakan perihal apa yg jg baru dia lihat dibalik pintu kamar mandi, namun urung karena atmosfer di dalam kamar itu benar-benar terasa tidak menyenangkan. 

Semalaman Nita tak bisa tidur dengan nyenyak, matanya awas melihat ke langit-langit, disudut langit-langit kamar pun beberapa kali Nita terpaku melihat kearah bekas air hujan yg meninggalkan bercak kecokelatan, saat itu lah, dari samping tempatnya tidur, ia mendengar ibuk tertawa 

Cara ibuk tertawa juga terdengar berbeda, seperti tertahan, begitu Nita menoleh ia terhenyak rupanya ibuk sudah terlelap sejak tadi, baru itu lah Nita mengerti tempat ini benar-benar membuat nyalinya menjadi ciut, ia memaksakan diri sebelum benar-benar akhirnya terlelap tidur. 

Keesokan harinya, barulah ada seorang bapak tua datang, dia mengenakan pakaian hitam dengan membiarkan bagian dadanya terbuka, tubuhnya kurus dan agak sedikit bungkuk, wajahnya murah senyum, ia masuk ke kamar Nita saat matahari sudah terik di atas kepala, 

Yg dia lakukan pertama tentu saja bertanya bagaimana Nita bisa mendapati patah tulang yg menurutnya cukup ganjil ini, Nita lalu menceritakan semua, namun, wajah si bapak tak melihat tepat kearah Nita melainkan seperti melihat ke sekat kosong yg ada dibalik punggung Nita. 

Bapak itu rupanya yg biasa dipanggil sebagai pak Mandet, pemilik sekaligus orang yg menjadi pamong di Sangka pitung ini, terakhir, sebelum pak Mandet pergi, ia meraba bagian menonjol tulang Nita, lalu bertanya apakah sakit ketika dia memegangnya seperti ini. 

Nita tak berkata apa-apa, sebenarnya sejak semalam rasa ngilu ini semakin terasa sakit sampai membuat Nita nyaris terasa benar-benar tersiksa namun anehnya ketika dipegang oleh pak Mandet, tak ada rasa sakit sama sekali, 

Nita hanya menggeleng-gelengkan kepala sebelum pak Mandet berkata kepada Nita, “rong dino engkas yo nduk, bar kui belung-mu bakal mari” (dua hari lagi ya nak, baru itu tulangmu selesai), "tenang, bakal onok sing ngeruwat awakmu" (tapi tenang saja, akan ada yg mengurusi dirimu). 

Ibu Nita ingin bertanya lebih jauh maksud kata-katanya namun pak Mandet sudah melangkah pergi, setelahnya, baru lah mereka diberitahu untuk membayar sewa kamar selama tujuh hari di tempat ini, dan pengobatannya baru bisa dilakukan hari lusa, 

Ada banyak pertanyaan ibu Nita yg belum terjawab namun kemudian ia urungkan, karena entah kenapa, wajah wanita yg menghalangi dirinya nampak dingin dan tak menyenangkan. 

Singkat-nya, setelah pertemuan dengan pak Mandet, tangan Nita sering diolesi semacam minyak yg beraroma wangi menyengat, tak hanya itu saja, selama pengolesan, si wanita seperti membaca sesuatu yg tak dimengerti oleh Nita sendiri, ia juga melotot seakan membenci kehadiran Nita. 

Selama tinggal di-sana sebenarnya Nita merasa tidak nyaman, dari berbagai sudut kamar seperti ada yg memperhatikan dirinya, namun, Nita tak bisa melihatnya, ibu-nya juga seperti merasakan hal yg sama sehingga ketika waktunya shalat, ia keraskan suaranya untuk memberi peringatan. 

Pada malam kedua, entah kenapa wajah ibu-nya nampak gelisah, beberapa kali dia menghadap ke jendela, Nita mencoba menenangkan wanita itu, dan ketika wanita itu menoleh, ia lalu berkata, "ibuk tak metu diluk yo nduk, kowe ra popo a nang kene ijen" (ibu mau keluar sebentar) 

Nita awalnya ragu, ia tahu ibunya sedang menyembunyikan sesuatu, namun, ia tak bisa menolak, sepertinya ada yg harus beliau lakukan, Nita mengangguk, melihat wanita itu pergi setelah menutup pintu langkahnya kian terdengar menjauh, sementara Nita kini tertuju menatap ke pintu wc 

Selama ibu-nya pergi, Nita hanya duduk diatas kasur , beberapa kali terlihat dirinya menoleh melihat kearah pintu kamar berharap ibunya akan segera datang, namun sayangnya wanita itu tak kunjung kembali sementara jam di dinding menunjukkan waktu yg semakin larut. 

Sialnya lagi, tiba-tiba perut Nita mendadak mulas, ia lalu berdiri sembari berjalan perlahan menuju ke wc kecil yg hanya cukup untuk satu orang, ia pikir sebentar lagi juga ibunya pasti sudah kembali.

Nita menutup pintu, mengunci dengan engsel kayu pada pintu. 

Berusaha menjaga agar tangannya berada di area aman karena wc jongkok itu jauh lebih sempit dari wc yg ada di rumahnya, di-sana lah sejenak Nita merasa tenang, rupanya tempat ini tak semenakutkan yg dia kira, namun, belum lama, perasaan itu timbul kembali, Nita menatap pintu kayu 

Karena lebih tipis dibandingkan kerangkanya, beberapa kali Nita melihat bila pintu tersebut seperti di dorong sangat pelan sehingga menimbulkan suara ketukan yg tak menyenangkan, di sini Nita kemudian terpikir untuk membuka saja pintunya sehingga tak ada lagi ketukan, 

Ketika Nita melepas engsel kayu, ia menarik tipis pintu menjaganya di dalam jangkauan agar dari luar wc pintu tersebut tetap berguna menutupi dirinya yg sedang membuang hajat dilain hal Nita tak perlu lagi mendengar ketukan tak menyenangkan akibat dorongan angin dalam kamar. 

Tapi, ketika Nita sudah membuka tipis pintu kayu tersebut, ia bisa melihat isi dalam kamarnya, di sana ia dikejutkan dengan kehadiran seseorang yg mengenakan mukena milik ibunya, sedang dalam posisi takhiyat, Nita tentu tersentak, ia tak mendengar suara pintu kamarnya terbuka. 

Nita tentu saja terdiam, ia ingin segera menyelesaikan hajatnya namun keraguan juga menguat dalam dirinya, entah kenapa tubuhnya seperti menolak untuk melihat lebih dekat sosok yg dirinya sedang tatap, sementara seseorang bermukena itu mulai menggoyang-goyangkan kepalanya. 

Awalnya semua nampak terlihat normal sebelum semakin lama kepalanya semakin cepat, namun, tak ada suara dzhikir yg Nita dengar tapi suara tertawa layaknya suara seorang wanita yg sedang menertawai, saat itu lah Nita langsung membanting pintu, menutup dan menguncinya dengan engsel 

Nita hafal apa yg harus dia baca, namun, semburat dalam kepalanya benar-benar kacau apalagi suara itu tak kunjung lenyap, bahkan pintu kamarnya terus digeblar sampai Nita menangis merintih-rintih sendiri, nyeri di siku-nya kian menjadi, dan setelahnya ia baru sadar, 

Ada anak perempuan cebol dengan rambut putih berwajah wanita tua sedang menjilati bagian menonjol pada siku-nya, mulutnya selebar tapah, Nita menjerit semakin menjadi-jadi saat itu-lah pintu baru dia buka, dan pak Mandet berdiri di sana bersama ibuk. 

Pak Mandet menutupi mata Nita menggunakan tangannya, sementara ibuk seketika mengunci pintu kamar, tak lama kepala Nita diruwat menggunakan kain halus putih seperti serat kafan, baru-lah, pak Mandet mengatakan, "tahan yo nduk, iki bakal loro sak loro-lorone selama kowe urip" 

Pak Mandet mengucuri siku Nita dengan air minyak dari botol kecil, lalu menutupinya juga dengan kain kafan putih, disinilah keanehan terjadi, kain putih itu berubah warna menjadi hitam pekat selain itu ada noda darah yg keluar dari sana.

Kemudian pak Mandet mengurut tangan Nita awalnya dengan lembut, lalu kemudian beliau memberi isyarat agar kepala Nita yg sedang dibuntal dengan kain itu dipeluk oleh ibunya.

Pak Mandet lalu menarik antara tangan dan lengannya dengan kedua tangannya, ia membuat tonjolan itu tertelan ke dalam posisinya. 

Setelah pak Mandet menariknya paksa dengan sekuat tenaganya, Nita menjerit layaknya orang kesetanan sampai suaranya kebas serak, setelahnya baru pak Mandet benturkan tulangnya hingga menimbulkan suara yg keras, setelahnya, Nita baru terhempas pingsan. 

Rupanya sejak awal, baik pak Mandet dan wanita itu tahu, bila jatuhnya Nita bukan perkara kesalahannya yg tak bisa melompat turun dari atas bak Truk, melainkan ada sosok penunggu tanah lapang yg sejak awal mau mencelakai Nita yg malang tersebut. 

Dan sejak kedatangannya ke rumah Sangkal Putung ini, pak Mendet sudah memberi minyak pada tangannya untuk menarik paksa perewangan yg ada di kediaman ini agar mengusik makhluk itu, sampai tiba waktunya bagi pak Mandet melakukan tugasnya. Ia berkata tiga hari sebagai pengecoh saja 

Selain itu, ada beberapa hal yg musti pak Mandet lakukan di sini, yg lebih tidak dimengerti oleh Nita, ibu-nya ikut turut andil dalam melaksanakan ritual di rumah Sangkal putung ini. Jadi, ketika Nita sudah sadar ia bertanya, dimana sosok yg menganggunya itu sekarang berada? 

Pak Mandet lalu memandang ruang kosong dibelakang Nita, ia lalu berkata, "jauh, dia gak bakalan ganggu kowe maneh" (jauh, dia tidak akan menganggumu lagi),

Meski tidak puas dengan jawaban tersebut, Nita mencoba mengerti alasan dibalik rahasia ini, namun, ia masih memiliki pertanyaan lain, hal ini soal, seseorang yg mengenakan mukena yg sempat dia lihat, Nita bertanya perihal itu?

Pak Mandet tak menjawabnya, ia hanya tersenyum kemudian berlalu pergi.

Semuanya sudah selesai setidaknya. 

Dan ketika, Nita bersiap pulang dengan mobil kijang saudaranya, ibu-nya baru bercerita, kalau, pada malam ketika dia keluar, dan kembali ke kamar Nita, ia melihat Nita sedang duduk membelakangi dirinya, sewaktu beliau memanggil, "Nit-Nita-Nit"

Kepalanya berputar 180 derajat. 

Hal itu lah yg membuatnya kemudian memanggil pak Mandet.

Apapun itu, bila untuk merasakan rasa sakit yg sama, Nita tak mau lagi kembali ke Sangkal Pitung tersebut, karena terlalu banyak hal yg ada diluar nalar tinggal di dalam sanggar mengerikan itu. 

Terimakasih sudah mau membaca cerita ini, tak ada niat untuk menjelekkan apapun, hanya sekedar berbagi cerita yg pernah dialami oleh sepupu saja. Perihal dimana tempatnya saya tak bisa mengatakan, namun, tempat itu masih menjadi jujukan oleh orang-orang yg ingin menyembuhkan diri.

Sekian untuk malam ini, berikutnya kita lanjutkan thread lain, sekali lagi maturnuwun, semoga malam kalian hari ini menyenangkan.