Langsung ke konten utama

Tragedi Rojopati - SANTET BRAJA - (Kisah Nyata)

Tragedi Rojopati - SANTET BRAJA - (Kisah Nyata)

Rojopati / Raja Pati dalam istilah jawa berarti 'pembunuhan' sedangkan teluh atau Santet 'Braja / Brojo' dalam bahasa sansekerta adalah 'petir'/ halilintar, Santet braja biasanya berwujud gumpalan bola api yang akan meledak di atas rumah orang yang dituju. Yang konon akan berubah menjadi sosok seperti manusia, namun berkepala api yang berjalan didalam rumah tersebut untuk memilih salah satu penghuninya sebagai korban

Disclaimer : Semua Nama tokoh dan tempat sengaja disamarkan untuk menjaga identitas dan privasi pihak yang terlibat didalamnya.

Kisah kali ini diangkat dari kejadian nyata yang terjadi di Temanggung tahun 1980an, sang narasumber sebut saja Pak Guntur, beliau bercerita tentang kejadian yang ia alami dan saksikan puluhan tahun silam ketika beliau masih umur belasan. Bagaimana kisahnya?

Suatu malam di Temanggung tahun 1984.

Guntur remaja 17 tahun itu tengah berjalan sendiri dengan lentera kecil di genggaman tangannya, ia menyusuri jalan pulang sehabis buang hajat di sebuah "belik" (MCK umum) di ujung desanya. Sembari menyesap dan bernyanyi untuk mengusir**

*rasa takutnya, ia sedikit mempercepat langkahnya ketika hujan mulai sedikit turun, terlihat ada cahaya api yang melayang rendah dari kejauhan, hatinya sedikit lega, ia pikir masih ada orang yang berkeliaran membawa obor dimalam selarut itu. "Ne'e arak ning belik"**

**(mungkin mau ke MCK) batinnya sembari terus berjalan mengamati gerak cahaya api itu, tapi setelah diamati Guntur mulai heran ketika cahaya api itu kian meninggi dan semakin meninggi. Gunturpun semakin mempercepat langkahnya, dengan pandanganya yang tetap tertuju pada cahaya itu.

Langkah Guntur mulai dekat dengan rumahnya, dan bola api itu masih terbang pelan melayang di langit dengan pelan. Dan akhirnya berhenti di atas rumah pak Dirja, tetangga depan rumahnya.

Karena mulai takut, Guntur segera menggedor pintu rumahnya, sembari sesekali kepalanya menoleh ke bola api yang masih mengitari atas rumah pak Dirja itu, terlihat cahaya api itu kian merendah mendekati genteng Rumah itu, dan terdengar ledakan keras. Bersama dengan itu pintu rumah**

Guntur terbuka, di ambang pintu ibunya bertanya kepada Guntur yang nafasnya terengah-engah. Tapi disini guntur tak bisa berkata apa-apa ia berjalan terburu melewati ibunya begitu saja dan memilih untuk segera masuk ke kamar.

Hingga keesokan harinya Guntur dibangunkan**

Oleh riuh ramai orang didepan rumahnya. Ibunya berkata kepada Guntur seraya membangunkannya di Pagi itu. "Kinanthi", anak pak Dirja meninggal. Ia yang kaget langsung terperanjat dari tempat tidurnya dan mencoba meyakinkan lagi kabar itu. Didepan rumahnya terlihat**

Para warga desa yang hendak memasang tenda di depan rumah pak Dirja, Guntur benar-benar tak menyangka, pasalnya semalam ia masih bertemu dan saling menyapa dengan "Kinanthi" di dekat masjid ketika pulang dari salat maghrib.

Apa penyebabnya Kinanthi harus meregang nyawa semuda itu??, bahkan umurnya 2 tahun lebih muda darinya, tanya Guntur dalam hati sembari mendekat untuk membantu warga yang tengah menegakkan tiang tenda.

Haripun berlalu, kematian Kinanthi yang mendadak dan tanpa sebab itu mulai menjadi buah bibir didesanya, "Mbok Rubiah", salah satu kerabat Pak Dirja yang waktu itu ikut memandikan jasad Kinanthi, berujar kalau dia melihat tanda 'gosong' di telapak tangan dan punggung Kinanthi.

Warga mulai menduga-nduga perihal kematiannya, Teluh menjadi dugaan kuat para warga desa, pasalnya "Pak Dirja" baru saja memenangkan pemilihan kades kala itu. Dugaan itu deperkuat lagi oleh karena Pak Dirja adalah calon termuda di pemilihan itu dan  lawannya adalah**

Seorang Petahana dan priayi sepuh terkaya di desa itu. Bisa dibilang Pak Dirja ini adalah "Kuda hitam" di pemilihan itu, seorang lurah yang tak disangka-sangka, atau orang baru yang ternyata diunggulkan. Bisa jadi kemenangannya adalah pemicu santet itu. Tapi itu masih**

**Sebatas prasangka saja dari para warga desa yang kebanyakan masih antilogis. Sementara itu menjelang 40hari kematian Kinanthi bersamaan dengan itu musim panen tembakau telah tiba, keadaan desa yang sempat mencekam pun kini diramaikan dengan kegiatan para warga yang mengolah**

**daun tembakaunya di Malam hari, tak terkecuali keluarga Guntur yang juga hidup dari Menanam Tembakau. Kebetulan juga keluarga Guntur mendapat amanah dari pak lurah (Pak Dirja) yang masih melewati masa berkabungnya untuk memanen dan mengolah tembakau miliknya.

Singkat cerita haripun berlalu. Guntur, ayah dan ibunya serta beberapa orang setiap malam mengolah daun tembakau hingga jam 3 pagi di drumahnya, awalnya semua masih berjalan wajar dan lancar, sampai tiba di suatu hari...

Waktu itu sekitar pukul 2 pagi. Diruang tengah ayahnya sedang "Mengiris" daun bersama 2 orang tetangganya yang bekerja lepas dengan Keluarga Guntur. Disitu juga terlihat**

**"Sari" adik Guntur sedang tertidur pulas di atas tikar anyam. Sementara di depan rumah, Guntur & ibunya tengah menata daun tembakau yang sudah diiris di atas "Rigen bambu". Tak ada pembicaraan, mereka semua tampak fokus dengan pekerjaanya masing-masih.

Sampai akhirnya Ekor mata Guntur seperti melihat sesuatu yang berada jauh disampingnya, sontak kepala Guntur menoleh ke arah itu. Ia sedikit mengrenyitkan dahinya untuk memperjelas pandangan matanya. Gunturpun menyenggol ibunya dengan Sikunya seraya berkata :

"Opo kae mak?? Kok koyo Geni mabur" (Apa itu buk, kok kaya api terbang) tanya Guntur kepada ibunya yang kemudian ikut memandangi cahaya merah kekuning-kuningan itu. Seketika ingatan Guntur tertuju pada kejadian malam sebelum Kinanthi meninggal.

Kejadian yang memang tidak pernah Guntur ceritakan dengan siapapun. Ia mulai merasa ketakutan setelah menyadari itu, rasanya ingin berlari masuk kerumah tapi kakinya seperti terkunci, dengan pandangan yang masih tertuju oleh cahaya api itu yang kian lama-kian mendekat.

"Kae ki Oncor" (itu tuh obor..) kata ibunya, memang dari kejauhan nampak seperti obor, karena posisi cahaya itu cukup rendah. Cahaya api itu semakin mendekat berjalan ke arah Rumah guntur, terbang rendah setinggi pundak orang dewasa.

Guntur & ibunya masih mengamati cahaya api itu. Dalam ketakutanya tunggul berharap itu benar-benar obor, seperti yang dikatakan ibunya. Tapi bagaimana rasanya mereka ketika setelah dalam jarak pandang terdekat, ternyata cahaya api itu bukanlah berasal dari sebuah "Obor".

Melainkan "Kepala manusia yang terbakar api" lengkap dengan Tubuhnya yang berjalan. Sosok itupun kian berjalan mendekat, disini Ibu Guntur sepertinya sadar akan hal itu dan mulai memegang erat lengan anaknya. Mata mereka seperti terhipnotis untuk selalu memandangi sosok itu.

Hingga akhirnya sosok itu berhenti dan berdiri tepat didepan Guntur dan ibunya. posisinya membelakangi. beberapa saat kemudian sosok itu berubah menjadi gumpalan api, dan terbang mengitari genting Rumah Pak Dirja. Dan tak selang beberapa lama, bola api itupun meledak**

**menghantam Genting Rumah Pak Dirja. Ayah Guntur dan 2 orang pekerja yang mendengarnyapun ikut keluar memeriksa. Tapi suasanya kembali hening. yang terlihat hanyalah Guntur dan ibunya yang berdiri mematung dan terlihat sangat ketakutan.


---Bersambung---