-->

HAJI SINGAPUR TAHUN 1873 EDISI MENYAMBUT HARI RAYA IDUL ADHA

HAJI SINGAPUR EDISI MENYAMBUT HARI RAYA IDUL ADHA

Melihat pemilik kapal dari Arab dan Inggris mengurus jemaah haji Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda pun memberikan izin monopoli pengangkutan jamaah haji kepada Kongsi Tiga, yaitu Rotterdamsche Lloyd, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaart-matschappi Ocean tahun 1873, tepat satu tahun setelah dibukanya kantor Perwakilan Hindia Belanda di Jeddah. Para jemaah haji Hindia Belanda menyebut kapal dari kongsi itu dengan nama "Kapal Dines".

Tetapi masih ada juga jamaah haji yang menggunakan kapal haji milik perusahaan Inggris yang bermarkas di Singapura. Hal ini terjadi karena perjalanan melalui Semenanjung Malaya dan Singapura merupakan tempat yang sangat baik bagi para jamaah asal Hindia Belanda untuk menghindari pengawasan dan paspor pemerintah. Faktor pendukung lainnya adalah harga tiket yang lebih murah dan adanya kebebasan untuk memilih makanan selama di perjalanan.

Walaupun demikian, berhaji dengan mengambil jalur Singapura bukannya tanpa risiko. Sejak tahun 1870 Pemerintah Hindia Belanda banyak mendapatkan laporan kalau di Singapura terdapat oknum-oknum yang mengaku bekerja untuk kepentingan jamaah padahal kenyataan berbicara lain. Mereka berusaha menjerumuskan jamaah calon haji, yang umumnya tanpa curiga diperas kekayaannya, untuk masuk ke dalam jeratan utang selama persinggahan di Singapura.

Jamaah yang dari segi keuangan tidak mampu membiayai seluruh perjalanan haji, akan tetapi dibujuk untuk tetap melaksanakannya oleh para oknum, pada akhirnya banyak menjadi korban. Alih-alih bisa berangkat ke Tanah Suci, untuk bisa makan dan pulang ke kampung halamannya pun menjadi hal yang sangat sulit karena semua perbekalannya habis akibat penipuan. Karena hanya sampai Singapura, mereka pun dilabeli sebagai "Haji Singapur". 

Persoalan tidak selesai sampai di sini, para calon haji korban pemerasan ini pun harus menolong dirinya sendiri di Singapura untuk melunasi utang dan sekadar bertahan hidup. Atas dasar perjanjian dengan para syeikh, mereka akhirnya harus bekerja di perkebunan-perkebunan yang dimiliki oleh orang-orang yang memberi pinjaman utang. Mereka pun melakukan aneka pekerjaan kasar lainnya yang dapat menghasilkan uang. Karena besarnya utang atau pemerasan yang berulang kali terjadi, mereka harus bekerja bertahun-tahun lamanya.