Langsung ke konten utama

KISAH NYATA : Bercengkrama Dengan Mereka Yang Tak Kasat Mata

Based on true story

Narasumber : mas Henry Setiawan

Selamat membaca

@bacahorror_id @IDN_Horor @C_P_Mistis @threadhororr @ceritaht

KISAH NYATA : Bercengkrama Dengan Mereka Yang Tak Kasat Mata

Suatu hari di awal tahun 2006, perkenalkan namaku Henry Setiawan. Pagi ini aku terbangun dengan kepala begitu pusing akibat baru tidur 2 jam saja. 

Semalam aku tak bisa tidur dikarenakan sedang dirundung kegalauan yang mendalam akibat seseorang yang aku cintai harus meninggalkanku untuk menikah dengan orang lain. Untung saja aku masih kuat iman, sehingga tidak melampiaskan kegalauanku dengan hal-hal yang negatif. 

Merasa masih galau, aku pun berfikir untuk mencari cara melepaskan segala beban ini. Menjernihkan fikiran dan hati serta bertekad untuk move on. Terlintas difikirku akan mendaki gunung saja, karena mendaki gunung ada hobiku sejak lama. 

Tetapi hari ini adalah hari Selasa, teman-temanku yang biasa mendaki bersamaku pasti semuanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang bekerja ada juga yang masih kuliah. Apakah aku akan berangkat sendirian saja? sebelumnya aku juga sudah terbiasa mendaki sendiri. 

Aku biasanya aku mendaki di akhir pekan, sehingga masih banyak bertemu pendaki lainnya baik di basecamp maupun di jalur. Sedangkan hari ini adalah hari kerja, pasti di gunung akan sangat sepi dan mengingat pendakian gunung di tahun itu belum seramai saat ini. 

Dulu kalau bukan akhir pekan gunung pasti begitu sepi. Setelah beberapa waktu berfikir, aku pun bertekad berangkat mendaki gunung sendirian hanya berbekal tas backpack kecil berisikan thermal blanket,sarung, beberapa roti,jaket, Survival kit dan rokok. 

Tanpa tenda, tanpa kompor, dan tanpa perlengkapan lainnya. Aku nekat berangkat menuju ke basecamp gunung Ungaran. Membutuhkan waktu sekitar 3 jam. 

Aku memilih Gunung ini bukan tanpa alasan, Aku sudah terbiasa mendaki Ungaran bahkan dulu bisa tiap minggu ke sana dan sudah tak terhitung lagi berapa kali mendaki ke Gunung ini dan baru dua minggu yang lalu aku ke sana. 

Jadi sedikit banyak aku sudah paham mengenai Gunung ini dan dengan menggunakan moda transportasi bus aku meluncur menuju ke pasar jimbaran, ya titik awal pendakian gunung Ungaran. Dulu masih jarang transportasi untuk ke basecamp Mawar dari pasar jimbaran. 

Kalaupun ada, itu ojek yang tarifnya aku pikir lebih baik untuk beli rokok ketimbang sekedar untuk naik ojek. Saat di dalam bus ada seseorang yang duduk disebelahku, seorang pria parubaya dengan pakaian serba hitam. Merasa tak ada urusan dan fikiranku pun sedang agak kacau, akupun tak menggubrisnya hingga dia mengatakan sesuatu.

"nek ono hal seng ora nyenengake seng ngko nemoni awakmu, nengno wae (jika ada hal yang tidak menyenangkan yang nantinya menemuimu biarkan saja)"

Ucap orang itu. 

"Maksude pripun pak? (maksudnya gimana pak?)." tanyaku kepadanya. 

"koe lungo karo ati lan fikiran seng ora sehat, ngati-ati o, kabeh iso mbok lewati yen tekad,iman lan semangat mu ora godak (kamu pergi dengan hati dan pikiran yang sedang tidak sehat, berhati-hatilah semuanya bisa kamu lalui dgn tekad,iman dan semangatmu tidak goyah)"ucap bapak. 

"njih pak (iya pak)". jawabku singkat. Karena aku memang sedang tidak berniat memperpanjang percakapan. Sebetulnya aku paham apa yang dimaksud orang itu, tetapi karena memang kondisi pikiran dan hatiku saat ini sedang tak karuan maka aku tak berminat melanjutkan percakapan. 

Tak lama orang itu pun turun dari bus ini, dan sebelum turun dia sempat melihatku lalu mengangguk dan tersenyum. Beberapa waktu berlalu aku telah sampai ditujuan yaitu pasar jimbaran. Aku pun turun dari bus lalu mampir ke warung untuk makan sebelum memulai pendakian. 

Usai makan dan beristirahat sejenak di emperan salah satu kios pasar, aku pun mulai jalan menuju basecamp Mawar. Perjalanan dari pasar Jimbaran hingga basecamp mawar tidak ada hal istimewa yang perlu diceritakan. 

Aku hanya menyusuri jalan desa beraspal dengan deretan rumah-rumah penduduk dan lahan pertanian di sepanjang pinggirannya. Setelah beberapa jam berjalan kaki akhirnya aku sampai di basecamp. Sangat sepi suasana basecamp siang ini, tidak ada satupun petugas yang berjaga. 

Warung-warung juga tak satupun yang buka. Wajar karena hari ini bukan musim pendakian. Merasa sedikit penat, Aku pun merebahkan diri di sebuah kursi panjang di depan salah satu warung yang tutup. Dan tak terasa hingga akhirnya aku tertidur di sini. 

Entah karena kelelahan atau karena memang semalam kurang tidur, siang ini aku terlelap sangat nyenyak hingga samar kurasakan ada yang menggoyang-goyang tubuh ku sembari memanggil namaku untuk membangunkanku. 

Perlahan aku membuka mata, mungkin salah satu petugas basecamp membangunkanku, begitu pikirku. Tetapi ketika kesadaranku telah kembali sepenuhnya, aku sama sekali tak mendapati satu orang pun. 

Padahal tadi jelas sekali aku merasa ada yang membangunkanku, tetapi aku tak memikirkannya lagi. Apalagi sekarang waktu sudah hampir Maghrib dan aku belum menjalankan salat ashar. Nampaknya tadi aku benar-benar nyenyak hingga tak menyadari hari sudah hampir gelap. 

Lalu bergegas aku menjalankan kewajibanku. Usai shalat ashar, tak lama adzan maghrib berkumandang. 

Usai menjalankan salat magrib, aku mulai memikirkan perjalananku. Hari sudah gelap sedangkan aku disini sendiri. Apakah aku harus membatalkan pendakianku ini karena memang sangat beresiko mendaki sendirian. 

Apalagi malam hari begini. Tetapi memang kegalauanku ini sangat mempengaruhi pengambilan keputusan ku, dan akhirnya aku memutuskan tetap melanjutkan pendakian apapun resikonya. Aku berencana memulai pendakian nanti usai salat Isya. 

Saat menunggu waktu Isya aku menghabiskan waktu duduk merenung di depan salah satu warung basecamp mawar. Tak lama aku merasakan kedatangan seseorang dari dalam hutan pinus. Samar aku mendengar percakapan dari beberapa orang di sana. 

Tetapi aku tak bisa mendengar secara jelas kata-kata yang diucapkan. Dalam hati aku berpikir "mungkin ini sisa pendaki yang naik akhir pekan kemarin". Terkadang ada beberapa orang yang betah berlama-lama hingga beberapa hari tinggal dulu di camp usai mendaki dari Puncak Ungaran. 

Jadi aku menganggap wajar, tak sedikitpun berpikir aneh-aneh apalagi makhluk ghaib. Tetapi hingga beberapa lama, orang-orang itu tak muncul juga. Sepertinya tak mungkin jika posisi mereka terlalu jauh, karena tadi aku sempat mendengar suara mereka. 

Sampai adzan Isya berkumandang, mereka tetap tidak muncul juga. Aku pun tak memikirkannya, aku segera menjalankan kewajibanku. Usai salat Isya aku pun segera bersiap untuk memulai perjalanan ini. Lepas dari basecamp aku memasuki wilayah hutan pinus. 

Aku pun berjalan santai namun konstan, tak banyak berhenti karena medan pendakian belum terlalu berat dan aku juga sendirian. Jadi bisa sesuka hati mengatur ritme perjalanan. Akupun tak lagi memikirkan suara orang yang kusangka pendaki tadi. 

Kalaupun mereka bukan manusia, aku juga tidak peduli. Aku datang ke sini bukan dengan tujuan tidak baik, meski suasana hati sedang kurang baik dan aku merasa wajar jika mereka menunjukkan eksistensi mereka kepadaku. 

Karena saat ini akulah satu-satunya manusia disini dan hal ini sudah kupikirkan sejak sebelum aku memulai perjalanan. Jangan bertanya apakah aku tidak mendapatkan gangguan selama perjalanan ini, sudah kubilang saat ini aku adalah satu-satunya manusia disini. 

Jadi aku saat ini ibarat sasaran empuk bagi mereka yang tinggal seberapa kuat nantinya mental dan iman ini menghadapi godaan mereka. 

Sudah tak terhitung berapa kali mereka menampakkan diri, mulai dari kelebatan bayangan, suara langkah kaki yang mengikutiku, bayangan hitam besar di sisi lembah hingga suara-suara aneh lainnya. Tetapi tak satupun yang menampakan wujudnya secara jelas. 

Akupun tak mengharapkan itu. Zaman dulu di jalur pendakian Gunung Ungaran terdapat sungai kecil, sekarang sungai ini sudah ditutup dengan timbunan tanah. Dan air dialirkan dengan pipa besar di sepanjang jalur mulai hutan pinus hingga di sungai agak besar sebelum pos pertama. 

Sungai yang terdapat banyak batu-batu besar ini, dulu dikenal sebagai istana peri. Peri merupakan salah satu bangsa jin dengan wujud wanita sangat cantik yang suka menggoda manusia, terutama laki-laki untuk dibawa ke dunia mereka. Dijadikannya suami ataupun budak. 

Dan mendekati sungai ini, bulu kudukku meremang hebat, sempat terpikir untuk kembali saja, tetapi lagi-lagi egoku bekerja lebih kuat dari nalarku. Aku pun terus berjalan menyusuri jalan setapak dengan aliran sungai kecil di sampingku. 

Hingga pada akhirnya, aku sampai di sungai lebih besar, yang merupakan percabangan aliran sungai ini. Terdapat air terjun kecil di sini, debit air waktu itu lumayan besar maklum sedang musim penghujan hingga air yang mengalir membelah jalur pendakian cukup membuat sepatuku basah. 

Karena minim pijakan batu yang belum terendam. Ketika berada di sungai ini, perasaanku sedikit terganggu. Seolah menyuruhku melihat kearah Hulu Sungai. Tekadku sebelumnya yang meyakinkan diri untuk tidak melihat kearah hulu itu, kini runtuh akibat rasa penasaran. 

Perlahan ku hentikan langkahku ini sebelum menyeberang aliran sungai. Ketika mataku memandang ke arah Hulu Sungai, samar aku melihat seperti ada sosok perempuan yang berdiri di atas batu besar di ujung Lembah hulu sungai. 

Jaraknya dari tempatku berdiri memang cukup jauh, namun remang cahaya rembulan yang sedang bulat sempurna saat ini cukup membantu pencahayaan malam ini. Aku pun seperti terkesima dengan kecantikan sosok itu. 

Meski remang dan tidak jelas, tapi aku seperti mengetahui bahwa sosok tersebut adalah sosok wanita yang begitu cantik. Perlahan seperti ada kekuatan yang menarik untuk melangkah mendekatinya. 

Beberapa langkah telah kubuat untuk menuju ke sosok wanita cantik itu. Hingga pada akhirnya tiba-tiba kakiku seperti membatu. 

Sekuat apapun aku berusaha bergerak, kaki ini menjadi semakin kaku sementara sosok itu masih kulihat tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun begitu pula denganku. Beberapa saat kemudian, aku merasa pandanganku semuanya gelap. 

Namun aku masih sadar sepenuhnya karena badanku masih bisa merasakan udara dingin di sekitarku. Juga air yang membasahi kakiku. Dan tak lama aku merasa seperti ditampar di pipi sebelah kiri, seketika pandanganku pun kembali normal dan aku jadi tersadar atas apa yang kulakukan saat ini. "Astaghfirullahaladzim" aku pun memanjatkan doa lantas berbalik arah kembali ke jalur pendakian. Aku masih belum tahu siapa atau apa sosok perempuan itu. 

Banyak yang bilang bahwa itu adalah penampakan peri penghuni aliran sungai gunung Ungaran. Namun aku sendiri tak dapat memastikannya karena aku sendiri juga masih awam perihal jenis dan golongan bangsa jin. 

Sambil terus berdoa dalam hati, aku melanjutkan perjalanan pendakianku ini. Masih dengan suasana dan nuansa dengan sama, di sepanjang perjalananku banyak makhluk tak kasat mata yang berusaha menunjukkan eksistensinya. Akupun tak mempedulikannya. 

Sepanjang aku tak melihat bentuk mereka secara jelas, dan aku yakin aku takkan bisa melihat bentuk mereka. Jika sekedar bayangan, kepulan asap, suara suara samar, dan yang lainnya aku masih memaklumi dan takkan mempedulikannya. 

Aku anggap saja mereka sedang menemani dan menghiburku yang sedang patah hati ini. Sampai di Pos pertama aku sempatkan istirahat dulu sebentar. Menikmati air segar yang kubawa serta membakar sebatang rokok untuk mengusir udara dingin yang semakin malam semakin menusuk. 

Sekitar 15 menit kemudian, aku mematikan rokok yang kini tinggal filternya. Usai mengantongi sisa batang rokok itu, akupun berdiri untuk melanjutkan perjalannya. 

Perjalanan sunyi menembus gelapnya hutan gunung Ungaran menuju peraduan ku untuk menghapus segala beban pikiran. Tak ada hal istimewa yang bisa kuceritakan sepanjang perjalanan dari pos pertama hingga sampai di kawasan kebun teh. 

Karena hampir semua kejadian sama saja seperti sepanjang perjalanan sebelumnya. Yaitu sepi, sunyi, sendiri dan mereka yang menemaniku juga sekedar menyapa dengan cara mereka yaitu memperlihatkan bayangan atau suara-suara aneh saja. 

Semakin lama, aku menjadi semakin terbiasa. Untuk takut pun, kurasa sudah sangat terlambat. Karena jarak untuk bertemu manusia lain sama-sama jauh, baik di depan maupun di belakang atau Desa bawahnya basecamp. 

Sesampainya di perbatasan kebun kopi dan juga kebun teh, aku pun berhenti sebentar untuk berfikir Apakah aku akan langsung melanjutkan perjalanan ke Puncak atau mampir dulu istirahat di pro masa. 

Kulirik jam tangan murahanku dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Sudah lumayan larut malam jika aku melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. Aku pun tak tahu apa yang akan kuhadapi nanti, meski jarak dari sini sampai puncak sudah tidak terlalu jauh. 

Hanya satu setengah jam hingga dua jam. Bukan hal mistis atau Ghaib yang kupikirkan, tetapi resiko fisik lainnya. Mengingat aku saat ini sendirian dan tidak ada satupun pendaki lainnya. 

Jika terjadi sesuatu padaku pasti takkan ada yang bisa menolong. Mempertimbangkan hal itu, aku pun memutuskan melangkahkan kaki menuju ke Pro masa. Iya malam ini aku akan beristirahat disana, dan akan melanjutkan perjalanan ke Puncak esok pagi. 

Dipromasan aku beristirahat di salah satu rumah warga, yang biasa juga digunakan pendaki lainnya untuk singgah. Ada beberapa rumah penduduk di sini, kita pun bebas memilih mau singgah di mana. Dan umumnya mereka tidak memasang tarif untuk bermalam. 

Seikhlasnya kita memberikan tanda jasa akan mereka terima. Terlebih jika mereka membuka warung, maka sebaiknya kita membeli makan pada mereka yang rumahnya kita singgahi. 

Aku pun memilih singgah dirumahnya Biu salah satu warga promasan yang sudah sangat kenal denganku. Bahkan aku sudah dianggap seperti anaknya sendiri, saking aku seringnya kesini. Beberapa kali aku membantunya dalam hal apapun. Biu bingung dan cukup terkaget melihat kedatanganku. 

Karena aku datang bukan dihari biasanya dan akupun sendirian. Beliau pun bertanya-tanya di perjalananku dari mawar sampai promassa, Apakah aku baik-baik saja? Apakah aku tidak ada gangguan? Dan lain-lain 

Karena Biu termasuk warga sepuh disini, jadi sedikit banyak Beliau juga memiliki kepekaan terhadap sesuatu yang ghaib dan mengetahui persis tempat-tempat yang penunggunya paling usil atau paling berbahaya termasuk sungai yang tadi ku ceritakan. 

Aku pun menceritakan kepada Biu tentang perjalananku. Tadi tak kurang tak lebih dan usai berbincang sebentar, aku pun pamit untuk istirahat. Karena esok pagi aku akan melanjutkan perjalanan menuju ke puncak. 

Awalnya Biu sempat keberatan dan melarangku ke Puncak sendirian, tetapi karena memang sudah niatku maka beliau pun tak dapat melarang ku. Beliau hanya berpesan untuk berhati-hati, jika keadaan tidak memungkinkan sebaiknya kembali saja ke Promasa. 

Aku pun mengangguk menandakan setuju dan berjanji bahwa aku akan menjaga diri supaya tidak terjadi hal buruk di perjalananku nanti. Singkatnya pagi pun tiba, 

Usai menunaikan kewajiban subuh, aku sempatkan ke Sendang(sumber mata air) promasa yang dikenal dengan nama sendang pengilon. 

Sendang ini merupakan sumber air utama bagi warga promasa dan sepanjang aliran airnya nanti, Sendang ini tak pernah berhenti mengalir Airnya jernih, bersih dan segar. Di Sendang ini juga terdapat semacam Pesanggrahan untuk ritual-ritual khusus yang dilakukan di waktu tertentu. 

Aku pun membersihkan diri di Sendang ini sekaligus mengisi persediaan air minum untuk kubawa ke Puncak nanti. Usai sarapan masakan istimewa dari Biu, yaitu Nasi sayur tumis labu yang dipanen dari kebun samping rumah Biu. 

Aku sempatkan berjalan-jalan dulu disekitaran Gua Jepang yang ada di salah satu bagian kebun teh promasa. Aku memang tidak buru-buru untuk segera melanjutkan perjalanan, menikmati suasana sepi dan tenang disini. 

Ketika tak banyak orang memang rasanya berbeda, ketimbang saat ramai di musim pendakian. Akupun lebih leluasa menghirup udara sejuk gunung Ungaran, mengisi penuh paru-paru ini dengan udara bersih dan mengisi kedamaian jiwa ini dengan suasana sunyi nan tenang. 

Menjelang siang akupun berpamitan dengan Biu dan juga suami dari Biu untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak Ungaran. 

Disepanjang perjalanan pendakian menuju puncak, sesekali aku masih disapa penghuni asli gunung baik yang memiliki jasad fisik yaitu binatang liar seperti monyet, lutung, ayam hutan dan yang lainnya. 

Maupun yang ghaib seperti suara-suara orang bicara, suara langkah kaki, sentuhan manja maupun tiupan nafas di tengkukku. Memang jin itu tak kenal waktu jika ingin berinteraksi, tak peduli siang maupun malam, terutama jika keadaan sepi seperti ini. 

Jika ramai, jangankan siang, malam pun mereka kadang mereka tak berani, apalagi jika orang yang datang memiliki iman yang kuat, sopan dan sangat menghargai tempat yang didatangi dengan tak mengotori atau merusaknya. 

Apapun yang mereka lakukan saat ini aku juga tak mempedulikannya. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka sejak perjalananku semalam. 

Sesampainya di puncak bayangan 2, sekitar beberapa ratus meter dari puncak banteng Raider, akupun bertemu seseorang yang sedang duduk di sebuah batu di samping jalur pendakian. Nampaknya dia sudah lama duduk disana, terlihat dari beberapa puntung rokok yang dibuang di depannya. 

Sebuah tindakan yang tidak patut dicontoh, aku pun menyempatkan menyapanya ketika aku hendak melewatinya. Selain itu akupun penasaran kenapa dia juga sendirian sepertiku. 

Apakah dia penduduk desa bawah sana atau pendaki juga sepertiku.

"Dari mana Mas?" ucapnya mengawali percakapan.

"Dari batang Mas, Lah sampeyan dari mana kok sendirian juga?" balasku. 

"saya dari situ, ya memang saya sendirian, selalu sendirian kebetulan sampean kesini jadi saya nyari teman" jawabnya

Tak ada yang aneh dengan orang ini sebenarnya. Aku melihat secara fisiknya tak ada kejanggalan. 

Kakinya menapak pantatnya pun sempurna menempel di batu yang didudukinya,pakaiannya biasa celana panjang baju kaos hitam polos dan sendal jepit Swallow. Namun tak terlihat ada tas pendaki. 

Rokok di sela jarinya pun selalu menyala, sesekali dihisapnya pelan dan setiap kali habis, lalu membakar lagi. Terlihat dari banyaknya puntung rokok yang dibuang sembarangan di depannya. 

"sampeyan nggak perlu mikirin hal yang sudah jelas tidak bisa membuat sampeyan senang, relakan saja dan lakukan hal lain yang lebih baik" ucapnya. Aku sempat bingung bagaimana dia bisa mengetahui isi pikiranku, 

"sepertinya cukup, kalaupun saya mengajak sampeyan, ada yang tidak memperbolehkan, sampeyan hati-hati saja menjalani yang ingin sampeyan jalani setelah itu pulanglah" ucapnya lagi. 

Akupun menoleh padanya, hendak menanyakan sesuatu kepadanya. Tetapi ketika pandanganku mengarah ke tempat dia duduk tadi, ternyata orang itu sudah tidak ada begitupun sisa puntung rokoknya juga lenyap tanpa bekas. 

"Hah ternyata setan tak apa setidaknya dia tidak mencelakai ku dan menunjukkan bentuk yang tidak menyeramkan serta apa yang dia ucapkan dan pesankan kepadaku juga yang baik-baik" kataku. 

Aku tak ambil pusing apalagi ketakutan dengan kejadian tadi. Aku pun beranjak dan melanjutkan perjalananku, tak berapa lama aku telah sampai di puncak Ungaran, disini aku hanya duduk merenung kontemplasi dan refleksi memikirkan apa saja yang telah kulakukan selama hidup ini terutama kepada kedua orang tuaku. Aku pun tak mendokumentasikan perjalananku ini dalam slide foto selain tak niat, aku juga tak membawa kamera. 

Tetapi aku menuliskannya di dalam catatan yang selalu kubawa kemanapun aku mendaki. Sementara waktu menunjukkan sudah memasuki waktu sholat ashar, tak terdengar adzan di sini karena lokasi puncak gunung jauh dari masjid atau mushola di pemukiman terakhir. 

Aku pun segera menjalankan kewajibanku yang diawali dengan tayamum karena tidak ada sumber air di sini. Usai sholat ashar aku pun segera bersiap melanjutkan berjalan untuk turun dari puncak ini. Jalur turun kali ini aku sengaja memilih jalur Gedong Songo. 

Bukan tanpa maksud aku sengaja memilih jalur Gedong Songo, aku ingin sekedar sambil menikmati suasana wisata esok pagi karena aku akan masuk area Gedong Songo dari pintu belakang. 

Meski untuk menuju kesana, dari puncak aku harus melalui jalur yang lebih ekstrim, lebih seram dan lebih rimbun. Karena jalur ini sudah mulai jarang dilalui. Tak banyak membuang waktu, aku pun segera beranjak menuju arah jalur Gedong Songo. 

Dari Puncak Ungaran aku mengambil arah baratdaya, tepat di seberang jalur naik dari kebun teh Promasa. 

Awal jalur turun aku melalui hutan rimbun dan turunan curam dengan sudut kemiringan hampir 90° dengan bantuan akar tanaman akhirnya aku bisa melewati jalur curam tanpa kesulitan berarti. 

Turun melalui jalur Gedong Songo ini bisa kita tempuh selama kurang lebih empat jam berjalan normal, tetapi karena aku saat ini sedang mengejar waktu maka aku mempercepat langkahku dengan sesekali berlari jika medan jalur pendakian landai. 

Akupun tak mau kemalaman di jalan, jika bisa menghindari waktu malam, waktu dimana mereka banyak beraktivitas, Kenapa tidak? begitulah fikirku. Di awal jalur ini terdapat banyak pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. 

Dan diantara belantara ini pula, aku bisa merasakan banyaknya penghuni yang mungkin juga merasakan kehadiranku. Tak segan mereka berusaha menampakkan diri di depanku, baik dibawah pohon, gelantungan di dahan maupun diantara semak belukar yang begitu rimbun. 

Namun tak satupun yang terlihat jelas bentuknya, hanya sekedar bayangan hitam atau putih yang ketika kubalas melihatnya, justru dia menghilang. Aku pun tak mempedulikannya, aku hanya terus berjalan kadang berlari supaya bisa segera sampai di tujuanku yaitu Gedong Songo. 

Tapi secepat apapun aku berlari, aku tetap memiliki batas kemampuan fisik. Hingga petang menjelang aku belum juga sampai di area Gedong Songo. Sementara gelap mulai merayapi sisi bumi ini. 

Dan mata-mata yang tadinya terpejam kini mulai menampakan tatapannya. Tatapan yang mengarah ke satu-satunya sosok fana, yang berada di dalam belantara ini. 

Dengan kebodohannya seolah menguji kemampuan nyalinya yang ternyata telah berada di ambang batasnya. Aku pun menyempatkan menjalankan salat Maghrib terlebih dahulu, apapun situasi dan kondisinya sebagai umat manusia yang memiliki agama, kita harus tetap menjalankan kewajiban. 

Sungguh bukan hal mudah beribadah dalam situasi semacam ini. Bermacam godaan berusaha menggoyahkan kekhusukan ku saat menghadapi ilahi. Mulai dari suara langkah kaki suara, samar orang berbicara, serta godaan-godaan lainnya. 

Ya sebenarnya Jin juga termasuk umat Allah yang memiliki kewajiban beribadah kepadanya, namun diantara jin tersebut juga ada yang membangkang. Ya golongan jin ini biasa disebut sebagai setan. 

Usai menjalankan salat magrib, aku pun bergegas melanjutkan perjalananku. Dan entah sebuah keberuntungan atau sekaligus kesialan sejak dulu aku memang memiliki kepekaan atas kehadiran mereka. 

Namun aku tak pernah bisa melihat bentuk mereka secara jelas, terutama bentuk-bentuk yang menyeramkan, paling hanya mendengar suara atau sekedar melihat bayangan samar. 

Tetapi jika mereka muncul dengan menyerupai bentuk makhluk fana, secara jelas aku bisa melihatnya. Namun tak bisa merasakan bahwa mereka adalah makhluk ghaib seperti saat bertemu seseorang saat perjalanan mendaki sebelum sampai puncak tadi. 

Semakin lama aku berjalan, aku merasakan mereka seolah semakin banyak yang mengikutiku. Tak bisa dipungkiri, kini rasa takut semakin merayapi seluruh sanubariku. Aku seolah semakin terpengaruh dengan godaan-godaan mereka. 

Hingga ketika aku sampai di kawasan Sabana, dimana lokasi Gedong Songo sudah semakin dekat, aku merasakan langkahku semakin berat. Aku seperti merasakan kelelahan yang luar biasa. Padahal aku tidak membawa beban berat seperti pendaki pada umumnya. 

Dan dengan bersusah payah aku terus berusaha melangkahkan kakiku. Sampai pada suatu ketika, aku merasakan seluruh tubuhku ini lemas, sampai jatuh terduduk. 

Dalam kondisiku saat ini, aku memejamkan mata berusaha memusatkan pikiran dan konsentrasi yang diiringi doa yang kupanjatkan dalam hati. Aku merasa seluruh badanku panas, panas yang seolah membakar. 

Aku berusaha semakin keras melawan kondisi ini, aku semakin merasakan kesadaranku yang mulai memudar. Hingga pada akhirnya, aku seperti dikelilingi banyak sekali orang yang berdiri memandangiku yang terbaring tak berdaya. 

Ya, mereka hanya memandangiku, dan tak berapa lama, entah apa yang terjadi, mereka semua tiba-tiba pergi seolah ketakutan. Aku pun kembali sadar sepenuhnya, aku melihat sekelilingku berusaha berorientasi dengan tempatku saat ini. 

Ditengah gelap, samar kulihat hamparan padang rumput dan beberapa pohon di sana. Suara adzan pun samar kudengar terlontar dari pelantang mushola atau masjid di bawah sana. Nampaknya sekarang sudah memasuki waktu shalat isya. 

Dan dengan terdengarnya suara adzan, artinya kini aku sudah tidak terlalu jauh dari pemukiman terdekat. Alhamdulillah ya Allah berkat izinmu aku masih bisa mendengar suara adzan. 

Masih diberi keselamatan lahir dan batin untuk terus menyembahmu dalam ibadahku. Usai aku menjalankan ibadah, aku pun melanjutkan perjalananku kali ini. Aku merasakan langkahku jauh lebih ringan dari sebelumnya. 

Mereka yang ada di sini masih tetap mengawasi setiap langkahku dari dalam kegelapan. Kali ini mereka tak lagi menampakkan diri di depanku, tapi aku tahu pasti mereka masih tetap di sekitarku. 

Sekitar satu jam kemudian, aku pun telah sampai di area Candi Gedong Songo. Aku masuk melalui pintu belakang tepatnya melalui sela-sela pagar yang tidak rapa. Sepi sekali suasana disini, wajar hari ini bukan akhir pekan, jadi tak ada yang berkemah di sini. 

Aku pun melangkahkan kaki menuju ke area pintu luwak, karena percuma juga selain tidak ada orang di sini aku juga tidak membawa tenda. Jadi lebih baik aku beristirahat di tempat yang biasa digunakan wisatawan untuk beristirahat, yaitu di dekat loket Candi Gedong Songo. 

Di depan loket terdapat semacam ruangan terbuka yang biasa digunakan istirahat wisatawan yang kesini. Aku akan tidur di sana malam ini, semalaman ini aku bisa beristirahat dengan tenang. Tak ada satupun gangguan dari mereka yang tak kasat mata. 

Meski ku akui mereka masih tetap mengawasiku, dari kejauhan, dari pekatnya gelap malam, yang mampu mengerdilkan nyali siapapun. 

Dan tidurku, aku sempat bermimpi ditemui seseorang seorang pria paru baya dengan pakaian tradisional Jawa, dia pun mengatakan bahwa aku harus berani melangkah karena ada orang yang menungguku di sisi lain sana. 

Entah sisi lain mana aku juga tak mengetahuinya. Dan makna dari mimpi itupun aku juga tak bisa memahaminya, aku hanya menganggapnya sebagai bunga tidur saja. 

Itu tadi kisah dari mas Henry Setiawan

Semoga bisa memberikan pelajaran untuk kita semua, untuk mas Henry, terimakasih telah berbagi kisah kepada saya dan teman-teman semuanya. 


Sumber : Thread Twitter dari @WijangLksn_CM