-->

KISAH NYATA : DESA TANGGUL MAYIT

Kisah mengenai sebuah desa yang hanya memiliki penghuni pada malam hari & menyimpan kenyataan yang sangat mengerikan.

Sebuah desa terpencil  di perbatasan jawa tengah yang sekitarnya dijadikan proyek tambang batu dan pasir.

@IDN_Horor

@ceritaht

@bacahorror

KISAH NYATA : DESA TANGGUL MAYIT

Sebuah bis dari arah ibukota terlihat akan melintas di depanku. Aku menoleh ke arah tulisan tujuan bis itu terpasang. Sebuah kota di perbatasan Jawa tengah dan Jawa Timur sesuai dengan tujuanku. Aku melambaikan tanganku hingga bis itu berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. 

Aku menaiki sebuah bis yang cukup tua dengan beberapa kain kursinya yang telah robek.

Yah, aku tidak bisa mengeluh. Saat ini aku harus benar-benar mengatur uangku agar bisa bertahan di kota itu nanti hingga waktunya aku menerima upahku. 

Saat telah mendapatkan posisi duduk yang nyaman. Aku membuka lembaran surat yang di kirimkan kepadaku dengan mengatasnamakan sebuah perusahaan. 

Gilang mahardika, namaku tertulis dengan jelas di lembaran kertas itu sebagai pertanda bahwa aku diterima untuk bekerja di proyek perusahaan tempatku akan bekerja nanti. 

“Wah , Masnya juga mau ke Proyek PT itu?” Tanya seseorang yang baru saja masuk ke bis ini saat berhenti di daerah cikampek tadi.

“I—iya mas, masnya juga?” Tanyaku. 

Dengan cepat orang itu membuka lembaran kertas miliknya. Terlihat sebuah nama Wiryanto S.E di sebuah surat yang mirip dengan yang kupegang.

“Kenalin.. saya Wiryanto, panggil saja Yanto.” Ucapnya.

Aku menyambut tanganya sambil memperkenalkan namaku. 

“Gilang mas.. Kok bisa kebetulan ya?” Tanyaku.

“Sepertinya memang banyak yang di terima, saya juga mendaftar sama teman saya dia juga diterima kok.. tapi dia terlanjur dapat kerjaan lain, saya duduk di sini boleh?” Cerita Yanto sambil meminta ijin untuk duduk di sebelahku. 

Aku mengangguk dan cukup kaget,rupanya cukup banyak yang diterima di pekerjaan ini.

“Tenang, nggak usah takut penipuan. Toh uang sakunya sudah dikirim di depan kan?” Lanjut Yanto. 

Ucapan Yanto benar, untuk perjalanan ke lokasi proyek kami sudah dibekali dengan uang saku yang di kirim langsung ke rumah kami setelah melakukan persetujuan Via telepon. Sebenarnya saat itu aku cukup heran. 

Seandainya ada yang berniat jahat dengan mengambil uang itu dan tidak berangkat, perusahaan itu pasti akan rugi. 

Perjalanan menuju tempat tujuan kami cukup lama , kami bercerita panjang lebar hingga mulai akrab. Rupanya Yanto sering naik bis ini saat masih sering bolak-balik ke Cikampek sewaktu kuliah di Jogja dulu. 

Butuh satu malam untuk sampai di tujuan kami dengan bis ekonomi seperti ini, pasalnya hampir di setiap kota bis ini berhenti untuk menurunkan atau menaikan penumpang. 

Hingga akhirnya sekitar pukul delapan malam bis kami berhenti di sebuah tempat makan yang terletak di kota Gringsing.

“Aku mau makan di depan saja, di restoran sini mahal..” Ucap Yanto setelah mengamankan barang berharganya saat akan meninggalkan bis. 

“Aku ikut.. uangku juga pas-pasan” Ucapku sambil mengikuti Yanto.

Sebuah warung makan yang cukup kumuh dan hanya tertutup tenda biru terletak tak jauh di depan restoran tempat bis kami parkir. Di dekatnya juga banyak truk-truk kecil yang parkir. 

Sepertinya warung makan ini juga tempat langganan mereka.

“Bu.. maem bu!” Ucap Yanto seperti sudah biasa.

“Nggih mas.. lawuhe opo?” (Iya mas, Lauknya apa?) Jawab seorang ibu yang segera mengambilkan nasi. 

Yanto memilih beberapa lauk yang terlihat menggiurkan. Tak mau kalah, perutku yang sudah keroncongan juga memaksaku untuk memesan menu yang tak jauh berbeda.

Sepiring nasi dengan lauk yang menumpuk memenuhi piringku.

“Edan mas.. porsinya nggak kira-kira” Tanyaku. 

“Kaget ya? Nanti kamu lebih kaget kalau udah bayar” Jawab yanto.

Entah mengapa rasa makanan di warung pinggir jalan ini terasa sangat nikmat saat itu. padahal ini hanya warung biasa.

“Unjukane mas” (Minumanya mas) 

Ibu warung mengantarkan dua gelas teh hangat di sebuah gelas besar kepada kami dan segelas kopi hitam kepada seseorang di belakang kami. Dan kami baru sadar rupanya ada seseorang yang duduk di belakang kami itu. 

Walaupun dengan porsi yang besar , tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan makananku. Sekaligus kami juga mengejar waktu agar tidak tertinggal bis kami.

“Sampun bu.. pinten?” (Sudah bu.. berapa?) Ucap Yanto sambil mengeluarkan uang dari dompetnya. 

“sampeyan gangsal welas, nek mase sijine sekawan welas” (Masnya lima belas, mas satunya empat belas ribu) Ucap Ibu itu.

Seketika aku kaget, makanan sebanyak itu hanya dihargai lima belas ribu. Kalau di kota pasti sudah lebih dari dua puluh ribu. 

“Tuh.. kaget kan, pokoknya kalo keluar kota cari tempat makan yang banyak truk parkir. Udah enak, porsinya banyak, pasti murah” Ucap Yanto. 

Aku menangguk, ini ilmu baru untukku. Dengan segera aku mengeluarkan uang untuk membayar bagianku namun tiba-tiba tangan seseorang menahan lenganku.

“Mas masnya mau ke mana? “ Ucap seorang bapak tua yang sedari tadi duduk di belakang kami dan memesan kopi hitam tadi. 

“kami mau ke proyek di jawa timur pak” Jawabku.

“Ini ada apa to pak? ” Tanya Yanto yang maju mendekat berusaha melindungiku.

“Tunggu.. tunggu di sini sebentar.” Ucapnya yang segera pergi meninggalkan kami menuju samping warung tempat motornya terparkir. 

“I—itu siapa bu?” Tanya Yanto ke ibu warung.

“Saya kurang tau namanya,tapi dia sering mampir ke sini kalau pulang mengantar bawang merah hasil panenya” Cerita ibu warung.

Bapak itu kembali dengan tergesa-gesa dan membawakan dua buah benda yang terbungkus lipatan kertas. 

“Saya ada firasat tidak enak, ini dibawa dulu saja.. kalau firasatku salah, benda ini boleh dibuang” Ucap Bapak itu.

“I—ini apa pak?” Tanyaku

“Sudah Gilang, dibawa saja. Bapak ini berniat baik kok” Ucap Yanto yang entah mengapa bisa langsung percaya dengan bapak itu. 

“Bu, duitnya saya titipkan ke bapak ya..” Lanjut Yanto yang segera mengajakku pergi.

Aku menoleh ke arah bapak itu, ia seperti membacakan doa pada uang kami dan memberikanya kepada ibu pemilik warung. 

Setelah kejadian itu aku mulai merasakan keanehan di perjalanan kami. Samar-samar aku merasakan ada yang memandangiku jauh dari kursi belakang bis. Pemandangan malam hari di luar jendelapun mulai tidak nyaman untuk dilihat. 

Akhirnya aku memutuskan untuk memaksakan diri untuk tidur dan berharap terbangun saat bis ini sudah sampai di terminal.

Duk duk…

Samar-samar terdengar suara dari arah jendela bis di sebelahku. 

Sebenarnya rasa kantuku lebih menguasai tubuhku dan membuatku malas untuk membuka mata, namun suara itu terus terdengar tanpa henti dan membuatku kesal.

Aku membuka gorden bis yang sebelumnya kututup untuk menghalau cahaya kendaraan lain yang mungkin saja mengganggu tidurku. 

Aku memperhatikan keadaan di luar jendela namun hanya hamparan sawah dan bukit-bukit yang terlihat sangat gelap di malam hari. Sama sekali tidak kutemukan sumber suara itu. 

Dengan tenang aku mencoba kembali tidur, namun sebelum sempat menutup mata aku mendengar suara itu lagi dan segera menoleh ke arah suara itu.

Tak bisa kupercaya, dari jendela bis itu terlihat seorang nenek berpakaian kemben jawa memperhatikanku dari luar jendela. 

Rambut putihnya terurai acak-acakan tertiup angin. Seluruh bola matanya terlihat putih dan ia tersenyum dengan gigi-giginya yang berlumuran darah.

Anehnya lagi nenek itu bergerak mengikuti kecepatan bis ini. ia melayang… 

“Se—setan!” Teriakku mencoba membangunkan Yanto.. namun ia tidak bergerak sedikitpun dari tidurnya begitu juga penumpang bis lain. 

Duk duk…

Suara itu terdengar lagi, aku menoleh dan nenek itu masih ada di sana.Ia tertawa sambil mengatakan sesuatu namun sama sekali tidak terdengar olehku.

Seketika aku teringat benda yang diberikan bapak tadi di warung makan. 

Sejak menerima benda itulah semua kejadian aneh ini terjadi.

Aku mencari lipatan kertas yang kusimpat di sakuku, mengeluarkanya dan segera merobeknya berkali kali dan membuangnya ke bawah. 

Benar.. seketika wujud nenek itu menghilang dan aku tak merasakan lagi sosok yang memandangku dari belakang.

Aku mencoba mengatur nafasku dan menoleh pada Yanto. Dia bisa tidur dengan tenang, mungkin saja dia sudah sadar tentang hal ini dan membuang benda itu sedari tadi.

Tepat menjelang pagi hari bis yang kami tumpangi sudah sampai di terminal tempat tujuan kami. Setelah bertanya-tanya rupanya tempat yang kami tuju masih cukup jauh. 

Kami harus menaiki satu kali angkutan umum ke halte proyek dan menaiki bis perusahaan untuk mencapai desa tempat kami akan bekerja nanti.

Aku dan Yanto memutuskan untuk sarapan di terminal sebelum melanjutkan rute yang ditunjukan tadi. 

Lewat tengah hari kami sudah sampai di halte proyek dan melihat beberapa orang juga sedang memasuki sebuah bis dengan nama perusahaan yang merekrutku.

“Pak masuk ke dalamnya jauh nggak?” Tanya Yanto pada sopir bis perusahaan yang membawa kami dan beberapa karyawan lain. 

“lumayan mas, mungkin sekitar satu jam” Jawab sopir bis dengan wajah yang sudah cukup tua itu.

“Di sana ada sinyal telepon?” Tanya Yanto lagi.

Sopir bis itu menggeleng, “di sana sinyal susah mas,” 

Mendengar jawaban sopir itu Yanto segera mengambil handphonenya menyibukan jarinya. Sepertinya ia mengabari orang terdekatnya sebelum kehilangan sinyal. Mungkin ada baiknya aku juga mengabari orang rumah bahwa aku sudah tiba di tujuan. 

Bis kecil itu membawa kami masuk melalui celah-celah hutan dan memasuki jalur tanah yang belum di aspal. Mungkin saat hujan , kendaraan roda empat akan sulit melalui jalur ini. 

Aku memperhatikan jalanan dan melihat beberapa kali plang menunjukan sektor proyek , banyak truk pengangkut batu dan peralatan berat berada di sana. Namun bis ini tidak menuju ke sana dan berjalan lebih jauh lagi. 

Mungkin saja tempat ini tidak hanya digarap oleh satu perusahaan, pikirku.

Bis berhenti di sebuah desa. Ia.. sebuah desa. Tak pernah kupikirkan ada sebuah desa di dalam pedalaman hutan ini. 

“Messnya ada di sana, bangunan yang paling besar di timur desa. Nanti malam setelah jam kerja ada petugas yang menghampiri kalian” Ucap Sopir bis itu yang segera meninggalkan kami dengan terburu-buru.

“Aneh..” Ucap Yanto tiba-tiba

“Tidak ada orang lain selain kita di desa ini”

Benar juga, hanya kami dan beberapa calon karyawan. Tidak ada siapapun , namun bangunan kayu di sekitar tempat ini masih terawat seolah selalu dihuni. 

Aku dan Yanto mengikuti karyawan lainya untuk masuk ke mess dan berharap menemukan orang lain atau petugas perusahaan di mess itu namun ternyata nihil. 

Mess ini memiliki dua tingkat dengan dua ruangan di setiap lantai. Satu ruangan di tiap lantai terkunci dan di setiap kamar yang terbuka berisi sepuluh ranjang yang mirip seperti asrama militer.

“Kita sebelahan aja ya, di sini aja deket pintu keluar” Ajak Yanto. 

Aku setuju dan segera menaruh barang-barangku sekaligus menunggu bergantian dengan calon karyawan lain menggunakan kamar mandi.

Hening… tanpa adanya suara dari orang-orang di sini desa ini benar-benar terasa tenang namun sangat misterius. 

Hal misterius ini semakin menjadi ketika tepat saat pergantian hari, Lampu dari rumah-rumah yang sebelumnya kami kira kosong itu tiba-tiba menyala.

Perlahan suara pintu terbuka dari beberapa rumah. Perempuan-perempuan muda dengan pakaian desa keluar dari rumah tadi, hal ini jelas terlihat aneh. Sayangnya hanya kami berdua yang melihatnya.

“Yanto.. kok bisa satu desa isinya perempuan cantik semua? Mereka tinggal sama orang tua atau suaminya ya?” 

Tanyaku yang heran sekaligus terkesima dengan keadaan ini namun anehnya reaksiku berbeda dengan Yanto. Ia terlihat panik dan ketakutan.

Mendengar suara ramai dari luar mess karyawan lain keluar dan mencari tahu. Rata-rata dari mereka bereaksi sepertiku. 

Tak sedikit yang menghampiri warga desa untuk memulai basa-basi.

Suasana malam di desa yang ku kira akan menyeramkan ternyata menjadi ramai tidak seperti yang kubayangkan tadi.

“Mas.. dari kota mana?” 

Tiba-tiba terdengar suara wanita menghampiriku. Wanita itu terlihat cantik dengan wajah yang manis namun entah aku samar-samar seperti pernah melihat pakaian jawa yang iya kenakan.

“Saya dari… “

Belum sempat menjawab tiba-tiba Yanto menariku masuk ke dalam mess. 

Keanehan pada dirinya benar-benar tidak dapat kumengerti.

“Beresin barang-barang kamu! Kita pergi dari sini!” Ucap Yanto.

“Ma—maksudmu apa?” Tanyaku

Yanto merogoh saku kantung celananya dan mengeluarkan sebuah benda yang sebelumnya telah kubuang. 

“Kamu masih nyimpen ini?”Ucapnya sambil menunjukan lipatan kertas yang diberikan oleh bapak yang kami temui di warung tadi.

Aku menggeleng,”Sudah aku buang di bis tadi, ada kejadian aneh.”

Yanto menyerahkan benda itu ke tanganku. 

“Sana lihat sendiri apa yang terjadi di luar!” Perintah Yanto.

Aku berjalan perlahan menuju pintu mess, perasaanku berbeda dari yang tadi kurasakan. Hawa dingin menyelimuti seluruh tubuhku dan seketika bulu kuduku merinding. 

Bahkan untuk membuka gagang pintupun aku merasa ketakutan.

Sebelum memutuskan untuk keluar aku memutuskan untuk mengintip dari jendela terlebih dahulu. dan sontak aku terjatuh kaget melihat sosok yang ada di depan jendela itu. 

“Eh masnya, sini keluar.. ngobrol bareng yang lain” Ucap seorang wanita.. bukan dia bukan wanita.

Wanita yang sebelumnya terlihat cantik kini berubah seperti nenek nenek tua dengan rambut acak-acakan ,matanya yang putih dan senyumnya yang berlumuran darah. 

Aku baru ingat , baju yang ia gunakan persis seperti nenek yang kulihat mengikutiku di jendela bis semalam. Bagaimana ini bisa terjadi?

Seketika wajahku pucat , aku menyeret kakiku meninggalkan jendela dan merangkak ke arah kamar tempat Yanto berada. 

Yanto sudah siap membereskan barang-barangnya dan aku segera berlari menyusulnya mengambil barang-barangku. Sayangnya sudah ada dua makhluk yang menunggu di depan mess, beruntung mereka tidak mencoba masuk ke tempat ini. 

Hari semakin malam, Kami berdua menunggu dengan cemas sementara kami sadar sesekali nenek tua itu menengok ke dalam mess. Satu sisi aku merasa menyesal telah membuang benda yang diberikan oleh seorang bapak di warung tadi. Beruntung Yanto tidak membuangnya. 

Tak tahan dengan suasana yang mencekam cukup lama, Yanto mengecek seluruh sisi mess yang mungkin bisa menjadi pintu pelarian kami. Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi saat malam semakin larut. 

Satu persatu pintu dan jendela diintipnya. Yanto mencari sisi yang sekiranya aman untuk kami.

“kita keluar lewat jendela kamar belakang..” Perintah Yanto.

Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menurut. 

Kami melempar tas kami keluar sebelum melompati jendela, sepertinya sosok dua nenek yang menghampiri kami tadi tidak menyadari kepergian kami.

Dengan berhati-hati kami berjalan melintasi halaman belakang rumah-rumah kayu di desa itu. 

Dari jauh terlihat desa sudah semakin ramai saat sekumpulan pria calon karyawan tadi mulai nyaman duduk di teras rumah-rumah warga.

Tanpa adanya lipatan kertas yang mungkin adalah jimat ini, semua terlihat wajar seolah mereka sedang bercengkrama dengan warga desa. 

Sayangnya kenyataanya mereka sedang bercengkrama dengan makhluk berwujud nenek tua yang mengerikan yang keluar dari setiap rumah.

Tepat saat hampir memasuki wilayah hutan kami melihat seseorang yang memasuki hutan juga bersama dengan seorang nenek tua itu. 

entah apa yang mereka bicarakan hingga laki-laki itu mau mengikutinya hingga ke dalam hutan.

“Di sini saja..” Ucap laki-laki itu.

Tanpa jimat tadi rupanya nenek itu terlihat berwujud wanita cantik seperti sedang menggoda laki-laki itu. 

“emoh… nanti ketahuan yang lain” Ucapnya manja.

Mereka masuk semakin dalam ke arah hutan, kami mengikutinya perlahan hingga sampai ke tempat yang cukup luas. 

“Udah di sini aja.. aku udah nggak tahan” Ucap laki laki itu yang segera memeluk tubuh wanita itu dan mencumbui tubuhnya.

Seolah terbakar oleh hawa nafsu laki-laki tiu membuka setiap helai baju yang dikenakan oleh wanita itu dan melampiaskan hawa nafsunya. 

“Pelan-pelan mas… malam masih panjang”

Wanita itu memandang laki-laki itu dengan wajahnya yang misterius sementara laki-laki itu menikmati tubuhnya.

Sayangnya aku sudah tahu dengan jelas wujud asli wanita itu.. 

Samar-samar dari kegelapan hutan terlihat nyala lampu dari lampu teplok bergerak mendekat ke arah mereka.

Laki-laki itu terlalu asik menikmati tubuh setan nenek tua itu itu hingga tidak menyadari ada seseorang di belakangnya. 

Seorang pria tua renta berjalan terseok seok membawa lampu minyak di tangan kiri dan sebuah parang di tangan kananya.

Ia meletakan lampunya di tanah dan berjalan dengan kakinya yang terlihat kurus kering mendekati laki-laki itu. 

Dengan sekuat tenaga kakek tua itu menjambak laki laki yang seperti terhipnotis dengan tubuh wanita itu.

Laki-laki itu tersentak , namun setan wanita itu menyentuh pipi pria itu memaksanya untuk terus menatap ke arahnya. 

Setelahnya kakek tua mengangkat kepalanya dan menebas tanpa ampun hingga terpisah dari tubuhnya.

Hampir saja aku berteriak, namun Yanto berhasil membekap mulutku.

Aku menahan mual saat darah laki-laki itu bermuncratan dari lehernya hingga membasahi tubuh wanita itu. 

anehnya wanita itu terlihat menikmatinya dan menjilati semua darah yang ada di tubuhnya.

“Uwis… tugasmu wis rampung”(Sudah tugasmu sudah selesai) Ucap Kakek tua itu. 

Nenek tua yang masih menikmati darah di tubuhnya segera berdiri, meraih tangan kakek itu dan menciumnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan hutan dengan senyum puas. 

Kakek tua itu kembali mengambil lampu minyaknya , menenteng kepala bersama parang dan pergi ke arah yang berlawanan.

Tubuhku lemas, aku tidak dapat bernafas dengan benar. Yanto jauh lebih tegar dariku seolah ia pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. 

“Aku pernah melihat desa ghaib sebelumnya, itu dulu saat tersesat di alas merapi, namun tidak pernah aku melihat yang semengerikan ini” Ucapnya yang ternyata juga berusaha menahan rasa takutnya.

“i—ini berarti kita mau ditumbalkan sama yang mengundang kita?” Tanyaku. 

“Bisa jadi, yang penting sekarang kita pergi” Perintah Yanto.

Aku menguatkan diriku untuk berjalan meningglakan desa ini, samar-samar terlihat dari jauh ada lagi orang yang memasuki hutan di sisi lain. 

“Lalu, mereka gimana? “ Tanyaku yang merasa khawatir dan tidak bisa membayangkan apabila mereka semua mati seperti tadi.

“Kita saja belum tentu selamat, kenapa harus ngurusin mereka?” Ucap Yanto. 

Tidak ada yang salah dari ucapan Yanto, tapi jantung ini terus berdegup kencang setiap membayangkan kejadian itu.

Belum sempat berjalan lebih jauh tiba-tiba muncul seorang wanita dari kegelapan hutan menghadang jalan kami. 

“Mas, mau kemana?” Tanya wanita itu dengan tatapan yang sepertinya sedikit marah.

Kami tidak dapat berkata-kata, salah jawab sedikit mungkin nasib kami akan seperti laki-laki tadi.

“kalian melihat apa?” Tanyanya dengan tatapan curiga. 

“Oh.. enggak, air di mess mati, kami lagi mencari sungai buat mandi” jawab Yanto.

Rupanya Yanto cukup pintar mencari alasan, jika tidak wanita itu pasti akan menanyakan kenapa kami membawa tas kami keluar dari mess. 

“Oh.. pakai sumur di rumah saya saja… ayo saya antar” Ucapnya.

“I—iya, nggak usah repot-repot.. tadi mas itu bilang airnya sudah nyala, makanya ini kita mau kembali” Balas Yanto lagi. 

Kami segera berbalik arah kembali ke desa namun saat wanita itu tidak terlihat , kami kembali masuk ke dalam hutan.

“Dia, pasti bisa berbuat sesuatu…”Ucap Yanto tiba-tiba.

“Si—siapa?” tanyaku. 

Yanto merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah telepon genggam yang sudah dipastikan tidak ada sinyal.

“Biar kupegang jimat itu! Kamu Gilang, pergi keluar dari tempat ini secepat mungkin. Saat sudah mendapat sinyal, hubungi temanku ini dan ceritakan semuanya..” Perintah Yanto. 

“Terus kamu gimana? Dia siapa?” Tanyaku bingung.

Yanto kembali mengenakan tasnya dan mengecek situasi di sekitar.

“Dia teman kuliahku, kalau aku meninggalkan situasi seperti ini dan membiarkan lebih banyak korban mungkin aku akan malu seumur hidup sama dia” Jelasnya. 

“Jangan sampai salah, saat dapat sinyal segera hubungi dia. Saat di bis tadi aku sudah menanyakan tentang keanehan tempat ini semoga saja dia sadar.”

Dananjaya Sambara, sebuah nama ditunjukan oleh Yanto di handphonenya. 

Terlalu banyak yang kukhawatirkan saat ini, entah apa Yanto bisa selamat sebelum adanya pertolongan atau apakah aku bisa melewati hutan tadi dengan selamat juga? 

Aku berpikir sekeras mungkin dan sedikit teringat tentang pertigaan yang menunjukan lokasi proyek dari perusahaan lain tadi. Mungkin saja di sana ada orang yang bisa menolongku meninggalkan tempat ini. 

“Ya sudah, aku tinggal dulu.. bawa Danan ke sini secepatnya, nyawa kami di tangan kalian” Ucap Yanto yang segera berjalan menuju desa yang dipenuhi oleh orang-orang yang berbaur dengan makhluk mengerikan di desa ini. 

Namun gelagat Yanto terlihat aneh, seperti ada sesuatu yang ia rencanakan.

“Pengumuman! Pak mandor mampir ke mess! Semua di suruh kumpul!”

Yanto berteriak di tengah kerumunan itu. seketika para calon pekerja memperhatikanya dan mengikutinya kembali ke mess. 

Hebat , ia bisa berfikir sampai ke sana. Setahu kami makhluk itu tidak berani masuk ke mess entah apa alasanya namun masalahnya apakah mereka bisa bertahan sampai aku kembali.

Di tengah gelapnya malam aku berlari meninggalkan desa mengerikan itu. 

Sesekali aku menoleh ke belakang. Dengan jimat yang kupegang sebuah pemandangan mengerikan terlihat dari jauh. 

Semua makhluk itu menatap ke seseorang yang menyebabkan calon karyawan atau mungkin lebih pantas disebut sebagai calon tumbal itu pergi meninggalkan mereka.

Sudah jelas makhluk itu mengincar Yanto.

(Bersambung) 

Mohon maaf baru bisa update, Semoga cerita ini bisa menemani malam minggu kalian.

Seperti biasa buat yang mau baca kelanjutanya duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..

Terima kasih.